Nov 19, 2009

Perjalanan ke Biak

Minggu ini aku harus pergi ke Biak untuk memenuhi undangan panitia Pelatihan Pengenalan Ekosistem Terumbu Karang dan Biota Laut serta Pengelolaannya. Panitia dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Propinsi Papua. Pelatihan dilakukan di hotel Intsia dari tanggal 16 - 21 November 2009, tapi jatahku dari tanggal 17 - 19 saja. Tanggal 20 aku harus sudah cabut balik ke Bali. Iya dong kan tanggal 20 ini my Bubby, Rakryan, ultah ke 2 nya. Harus pulang dong...

Kesempatan berkunjung ke Biak dan berdiskusi dengan para penggiat dan pemanfaat pesisir membuatku serasa kembali di tahun 2003, saat memulai program di Wakatobi. Cerita tentang maraknya bom ikan di pesisir Biak sampai saat ini, membuatku gelisah. Apa iya ya masih banyak orang yang tidak peduli hingga tidak bisa menghentikan semua kegiatan yang merusak ini. Atau memang kebanyakan orang sudah kian pesimis atau malah sudah apatis?

Bicara soal apatis ini salah satunya terlihat saat dengar cerita mengenai bagaimana dulu maraknya Biak sebagai transit airport ketika masih ada penerbangan Jakarta-Denpasar-Biak-Honolulu-Los Angeles. Wow.. keren kan? Aku juga baru ngeh setelah berkunjung sendiri ke pulau ini.

Saking maraknya lalu lintas penumpang via Biak ini maka pemerintah Papua (saat itu masih Irian Jaya) membangun satu hotel berbintang yang menjadi icon pariwisata Biak, hotel Marau.


Hotel yang dibangun oleh PT Waskita dan kalau gak salah dikelola oleh Aerowisata ini adalah hotel termegah yang ada di Indonesia paling Timur ini. Lihat aja kegagahan dan keindahannya di foto karya PT Waskita ini.



Namun foto ini adalah foto yang diambil sesudah selesai dibangun pada tahun 1991. Foto tersebut tinggalah kenangan.

Pada saat aku berkesempatan ke Biak dan mendengar adanya hotel Marau ini, sudah berbeda keadaannya. Foto dibawah ini adalah Hotel Marau pada tanggal 19 November 2009.





Kelihatan gak bedanya? Ha...? Emang masih perlu ditanya? Memang kelihatan jauh sekali kan. Konon investasi yang telah dikeluarkan saat pembangunannya pada tahun 1991 telah menghabiskan biaya Rp 1,7 trilyun. Kalau dikonversi dengan nilai uang sekarang berapa ya? Lebih dari Rp 6 trilyun tuh.


Bayangkan investasi yang sebesar itu kemudian menjadi tinggal puing yang tersisa. Sebagai pendatang yang melihat sekejap dan mencoba mencari tahu dengan segala keterbatasan sumber informan jadi penasaran. Apa ya yang sebenarnya terjadi atas semua ini? Kuingin mencari tahu lebih jauh, seperti halnya mencari jawaban atas pertanyaanku di awal tulisan ini.