Mar 25, 2014

Berlayar ke Barat

Mengarungi Sumatera adalah perjalanan tertunda.  Tertunda lama.
Sejak perjalanan ke Lampung di jaman mahasiswa tidak ada lagi kesempatan tuk berjalan apalagi berlayar ke Barat.  Hingga tiba undangan meramaikan Indonesia Maritime Festival di Anambas sebagai rangkaian Naval Exercise 2014.
Maka dengan segala ketidakpastian dan minimnya informasi kuputuskan untuk menuju ke Barat saat ini.  Atau mungkin tak sempat lagi ada lain kali.
Dini hari pukul 03.09 bersama taxi Express meluncur meninggalkan Perumahan Indraprasta menuju Bandara SOETA.  Dijadwalkan 05.25 GA286 akan menerbangkanku menuju Tanjung Pinang.  Sumatra bagian Kepulauan Riau ini lompatan dari dataran Sumatera yang kumimpikan.
Dari udara tampak bopeng-bopeng galian bauksit andalan pulau Bintan.  Tampak pula sebaran pembangunan di sana sini.
Mendarat di Bandara ... telah dinantikan oleh Ian Fis (maksudnya Peace alias Damai) penabuh drum yang kerja serabutan dari sopir hingga penjaga project pengembang bangunan.  Orang Melayu Medan yang lama tinggal di Jakarta ini menjemputku dan mengantar ke agen penyebrangan ferry dari Tanjung Pinang ke Tarempa.  Sepanjang jalan mengalir ceritanya mengenai dirinya, mengenai orang Medan, mengenai kota Tanjung Pinang, mengenai Kapolri Sutanto, mengenai desertir TNI-AL yang begitu membunuh waktu hingga sekejap saja rasanya tiba di kota tepi pelabuhan.
"Tiket esok hari sudah habis" weitz.  Terkejut karena terlena hantaran cerita sepanjang jalan dan tak siap pad kenyataan bahwa begitu laris manisnya pelayaran menuju Anambas ini.  Otak berputar cepat sambil mendengar lalu lalang paparan Ian yang meyakinkan bahwa pasti akan kudapat tiket ke Anambas.  "Kita ke pelabuhan saja.  Kita cari orang Syahbandar yang mungkin bisa membantu.  Kan mereka yang kuasa memberangkatkan orang" ujar Ian.  Saya percaya tidak percaya, namun tak punya pilihan lain.
Duduk ngopi di warung sebelah kantor Syahbandar dengan ketidakpastian.  Secangkir kopi yg cukup nikmat namun kurang bisa kunikmati lebih dari sekedar pembunuh waktu mencari selah dimana dapat kuperoleh tiket esok hari.
Setelah sepiring nasi dengan telor dadar dan teh cairnya habis maka bertelponlah Ian dengan seseorang yang kemudian kukenal sebagai Putra.  Good news.  Pak Putra punya bookingan tiket 4 buah untuk esok hari dan belum juga ada konfirmasi dari orang yg memesannya hingga pagi ini walau sudah dibooking sejak Jumat lalu.  Beruntunglah pak Putra memutuskan untuk membatalkan saja bookingan itu dan memberikannya satu tiket padaku.  Sip.  400ribu kubayarkan dari 302 ribu harga tiket plus sekedarnya untuk terimakasihku pada bantuan pak Putra. Tiket sudah di tangan, hidupku sudah tenang.  Tinggal menata rencana sehari semalam di kota Tanjung Pinang.
Hotel di muka pintu keluar pelabuhan Tanjung Pinang hanya beberapa langkah dari tempat nongkrong kami di sebelah kantor Syahbandar.  Gunung Bintan Jaya namanya.  200rb semalam dan 100rb tuk short time.  Hmm.. Short time untuk yg sekedaringin  mandi dan baring sambil menunggu ferry berangkat ke Batam atau Singapura kali ya.  Ya sudahlah kuambil saja tanpa pikir panjang lagi.
Listrik mati ternyata.  Pantas saja kasir langsung mengingatkan bahwa hanya kipas angin yang hidup.  AC tidak berfungsi.  But okay, aku lebih suka angin mengalir daripada dingin yg bikin masuk angin. Apalagi udara cerah dan jendela terbuka lebar.  Mantap sudah.
Koneksi Telkomselflash dari kamar 206 ini lancar jaya.  HSDPA dijangkau dan listrik tetap ada dari genset hotel.  Aman.  Sudah cukup untuk bekerja sampai perut lapar.
Walau direkomendasikan sup ikan namun perut lapar dan utang kerjaan membuat pilihan makan di lantai dasar sebelah hotel menjadi prioritas siang ini. Ikan kuah dengan peyek kacang diguyur sayur nangka sambal hijau cukup nikmat.  Dua piring nasi tandas dalam sekejap dan cukup energi untuk kerja jilid dua.  Namun gak sehat lah kalau abis makan langsung kerja.  Perlu mengalirkan darah dulu menghantar energi yg masuk ke seluruh tubuh.  Maka kususuri trotoar kota yang cukup tenang ini.  Membeli beberapa penganan untuk esok hari kukelilingi satu blok kota ini sampai bertemu satu tempat yang cukup cozy.  Kedai Kopi Jalan Bintan.
   







Tempat duduk nyaman, ruang ber-AC lumayan untuk nongkrong di siang yg panas ini.  Pesan kopi-O seharga 5500++ sudah cukup untuk mentest koneksi WIFInya yang lumayan.  Recommended buat nongkrong sayang kopinya cuma Kopi-O, Kopi Susu tanpa tahu bahwa kopi tuh ada Arabica dan Robusta.  Ada Mandailing, Aceh Gayo, Menoreh, Paniai dan masih banyak lagi.Komentar mas Panca di FB langsung "Sekalian feasibility study untuk Kopi Ranin di Tanjung Pinang mas... "  "Yup, 100 tuk mas Panca"  Kayanya memang perlu ada kedai kopi yang mengenalkan aneka rupa kopi nusantara di pintu masuk Indonesia sisi Barat ini.  Masak gak ada yang mau apalagi mampu seh di kota yang kaya ini.  Perlu dicari kolega yang mau dan mampu.
Komentar-komentar di FB lalu lalang di komputer dan hapeku.  Salah satu yang bermanfaat adalah tawaran Cici untuk memanfaatkan keponakannya eksplor kota Tanjung Pinang.  Lumayan.. daripada sesorean di kamar saat mati listrik. Yes.  Mati listrik jilid dua.  Mitra, ponakan Cici, menjemputku dengan trail Kawasakinya.  Kami meluncur mencari seafood restoran untuk mencoba hasil laut kepulauan Riau.  Masak dah di kepulauan gak dapat seafood segar sih?
Wow, semua seafood restoran fullbook.  Ada yang acara keluarga ada juga yang sedang kampanye dialogis.  Yang menarik kampanye di Tanjung Pinang berbahasa Tionghoa baik di saluaran tivi lokal maupun di restoran seafood sini.  Untung masih ada meja diluar ruang restoran yang tersedia buat kami.
Pilihan jatuh pada sup kakap, sotong goreng dan sayuran.  Porsinya ternyata tak sanggup kami habiskan berdua.
Maka 231ribu rupiah menyisakan dua bungkus sup dan sotong tuk bekal anak kost.
Habis sudah sehari semalam di Tanjung Pinang.  Saatnya balik hotel, baring dan bersiap berlayar esok pagi pukul 07.00.

Mar 18, 2014

Lulusan IPB Kok Jadi Wartawan

Ketika Melchior Treub pada tahun 1903 mendirikan Sekolah Pertanian di bawah naungan Kebun Raya Bogor, tugas sekolah itu adalah mendidik tiga jenis tenaga kerja dalam bidang pertanian, yaitu penyuluh pertanian, pengawas hutan, dan Sinder perkebunan. Sekolah yang didirikan Melchior Treub ini kemudian berkembang menjadi Middelbare Landbouw School yang kemudian dikenal sebagai Sekolah Pertanian Menengah Atas.
Sangat jelas tugas kerja bagi para lulusan sekolah ini. Apabila ia bekerja dalam bidang. pertanian rakyat, maka ia dididik menjadi penyuluh bagi para petani. Dengan keahlian itu ia diharapkan dapat mendidik para petani agar dapat menerapkan penemuan-penemuan baru dalam berbagai teknologi pertanian. Cara mendidiknya itu adalah melalui penyuluhan yang adalah suatu usaha mengimbau. Tidak demikian halnya apabila ia akan berkerja dalam usaha perkebunan yang adalah usaha perusahaan pertanian yang dimodali oleh swasta. Ia dididik menjadi sinder yang asalnya adalah dari kata Belanda opziener yang artinya kira-kira ialah pengawas, seperti halnya juga dengan para lulusan yang akan bekerja dalam bidang kehutanan dilatih menjadi bosopzichter atau pengawas hutan.
Usaha   penyuluhan pertanian sendiri diresmikan kelembagaannya oleh Pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1908 sejak lima orang penasihat pertanian dan beberapa pembantu penasihat pertanian diangkat sebagai pegawai Departemen Pertanian yang diperbantukan kepada Pangreh Praja setempat untuk memberi nasihat tentang pertanian dan untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan pendidikan pertanian kepada para petani.
Para penasihat pertanian itu umumnya adalah orang Belanda sedangkan para pembantu penasihat pertanian itu berasal dari lulusan sekolah pertanian tadi. Merekalah perintis kegiatan pendidikan pertanian di Indonesia, yang kemudian akan berkembang menjadi kegiatan penyuluhan pertanian yang sifatnya tidak berasaskan perintah, melainkan berdasarkan usaha mengimbau berdasarkan tatap muka antara penyuluh dan petani. Pertemuan tatap muka adalah sarana utama penyuluhan karena ketika itu para petani kebanyakan tidak berpendidikan dan sarana komunikasi lainnya belum berkembang. Itulah pula sebabnya mengapa di kelas terakhir Sekolah Pertanian Menengah Atas setiap siswa diwajibkan mengikuti pelajaran pendidikan pertanian atau penyuluhan pertanian.
Sewaktu saya menjadi siswa kelas tiga Sekolah Pertanian Menengah Atas di Bogor pada pergantian dasawarsa empatpuluhan ke dasawarsa limapuluhan, beruntung sekali saya dapat mengikuti pelajaran pedagogi pertanian dari Soetan Sanif, seorang penyuluh pertanian kawakan kelahiran Penyabungan di Mandailing yang kecantol seorang putri Sunda dari Purwakarta, sehingga ia pun banyak berpengalaman mengadakankan penyuluhan terhadap para petani di dataran rendah Jawa Barat bagian Utara. Tugas mengajar pedagogi pertanian diberikan kepadanya karena ia adalah seorang penyuluh pertanian dengan pengalaman lapangan yang sangat luas.
Selain itu ia pun sangat terkenal karena pandainya membuat tulisian-tulisan bersifat penyuluhan pertanian yang banyak diterbitkan di majalah Pandji Poestaka keluaran Balai Poestaka. Agaknya pengalaman masa remajanya mengikuti bual kedai kopi di Mandailing dicampur dengan pengalaman lapangnya dengan berbagai falsafah hidup petani di seluruh wilayah Indonesia, menimbulkan kemampuan di dalam dirinya untuk dapat menulis dengan gaya yang menarik bagi orang yang ingin tahu seluk beluk pertanian. Sekaligus pula ia telah mengembangkan gaya penyuluhan tatap muka menjadi gaya pendidikan melalui media cetak. Ada dua angkatan siswa SPMA Bogor yang beruntung mengikuti pelajaran padaqogi pertanian dari Soetan Sanif. Ke dalam angkatan pertama termasuk Saudara Slamet Soeseno sedangkan saya sendiri menyusul pada angkatan berikutnya.
Petani tidak bodoh
Kalau Soetan Sanif sebagai pembantu penasihat pertanian adalah lulusan Sekolah Pertanian Menengah Atas Bogor, maka para penasihat pertanian biasanya adalah lulusan Sekolah Tinggi Pertanian Wageningen. Tenaga tertua berkebangsaan Indonesia yang lulus dari Wageningen itu saya kira adalah Prof Iso Reksohadiprodjo. Pada waktu beliau lulus dari Wageningen program pendidikan masih berlangsung selama tiga tahun sehingga beliau ketika itu belum bergelar Landbouwkundig ingenieur.
Tokoh berikutnya yang sudah bergelar insinyur ialah Prof Ir Teko Soemodiwirjo, sedangkan seorang tokoh lain yang lebih muda, yang pernah menjadi Se kretaris Jenderal Departemen Pertanian, sekarang masih giat berkecimpung dalam dunia pendidikan tinggi sebagai seorang pembantu rektor bidang akademik di suatu perguruan tinggi swasta terkemuka di Jakarta. Beliau adalah Ir Kaslan A. Tohir yang tulisan-tulisannya juga banyak digemari pembacanya.
Kalau kita pernah mengikuti pelajaran atau kuliah dari ketiga tokoh ini di masa muda kita, maka banyak sekali pelajaran yang diberikan itu kita anggap sepele ketika itu, akan tetapi ternyata sangat dalam artinya setelah kita banyak makan garam kehidupan dan sampai pada usia kearifan. Satu hal yang selalu ditekankan oleh tokoh-tokoh ini dalam pelarjarannya ialah bahwa petani itu bukan orang bodoh. Kalau ia melakukan sesuatu dalam usaha taninya yang tampaknya primitif maka hal itu bukanlah karena kebodohannya, melainkan adalah usahanya yang terbaik dalam keadaan terkendala oleh faktof-faktor lain yang belum kita pahami.
Masuk ke pasar
Pelajaran lain yang sekarang selalu saya terapkan apabila saya memasuki suatu daerah baru ialah untuk menyempatkan diri masuk ke pasar setempat. Dengan menyimak hasil bumi apa yang dijual di situ, kita dapat mengetahui sumber usaha utama penduduk di sekitar pasar itu. Dengan memperhatikan kualitas barang-barang yang ditawarkan di kedai-kedai di pasar itu kita dapat menduga daya beli penduduk dan oleh karena itu pula tingkat kemakmurannya. Demikianlah dengan memasuki pasar Muara Sipongi atau Panyabungan pada suatu hari Kamis, kita ketahui bahwa hasil utama perkebunan rakyat di sekitarnya ialah kulit manis den kopi, sedangkan dengan menyimak kualitas barang elektronik dan pakaian jadi yang tersedia di kios dan membandingkannya dengan apa yang misalnya dapat dilihat di pasar Sarolangun-Bangko, kita dapat menyimpulkan bahwa daya beli masyarakat pedesaan di Jambi lebih besar dibandingkan dengan daya beli masyarakat pedesaan di Kecamatan Muara Sipo ngi dan Panyabungan.
Sejalan dengan kemampuan mengukur daya beli masyarakat di daerah pedesaan ini, di Institut Pertanian Bogor setiap mahasiswa baru diwajibkan mengambil kurikulum yang sama di tingkat persiapan bersama. Kurikulum itu tidak hanya mencakup mata kuliah dasar fisika, kimia, biologi, dan matematika di samping mata kuliah wajib bahasa Indonesia, bahasa Inggris, kewiraan dan kewargaan negara, akan tetapi juga mata kuliah dasar ilmu-ilmu sosial berupa sosiologi pedesaan dan ekonomi umum. Atas dasar mata kuliah dasar seperti ini seorang mahasiswa yang besar-benar tekun belajar akan mampu bukan saja memahami seluk-beluk ilmu-ilmu pertanian secara teknis, melainkan juga memahami permasalahan sosial yang dapat diamatinya di lingkungan sekitarnya.
Di tingkat dua dan tiga ia mulai mempelajari suatu bidang khusus dalam kawasan bidang ilmu pertanian, dengan mempelajari ilmu-ilmu tertentu, didampingi praktikum, praktek, dan telaah kepustakaan yang diakhiri dengan penulisan suatu laporan mengenai hasil telaahannya tersebut.
Di tingkat terakhir ia mulai mencari suatu masalah dan mencoba menjawabnya dengan mengadakan percobaan atau survei yang diakhiri dengan penyusunan suatu karya tulis mengenai hasil penelitiannya itu. Bagi sebagian mahasiswa tugas menulis memang merupakan hal yang sangat ditakuti. Akan tetapi bagi sebagian mahasiswa lain yang senang akan pekerjaan tulis-menulis, tidak jarang hasil karya tulisannya itu sangat menarik untuk dibaca karena disajikan dengan cara yang sangat menarik.
Mahasiswa seperti ini sebenarnya memiliki cukup persyaratan untuk menjadi penyuluh pertanian modern yang sasaran penyuluhannya tidak lagi buta huruf, melainkan sudah mengecap pendidikan yang memadai. Penyuluhan bagi petani seperti ini yang sering pula sudah biasa berdasi tidak perlu ditangani selalu dengan tatap muka melainkan depat dilakukan melalui media cetak. Sebagian di antara mereka setelah lulus dari IPB menemukan relung kerjanya di barbagai surat kabar, majalah dan perusahaan penerbitan. Bahkan seorang lulusan menjadi editor utama suatu majalah mengenai komputer dan elektronika. Suatu petunjuk bahwa lulusan Institut Pertanian Bogor dan perguruan tinggi pertanian yang sejenis kalau perlu dapat menjadi penyuluh melalui media tulisan yang nama sederhananya adalah wertawan.
Bukan salah tempat
Beberapa waktu yang lalu ada seorang wartawan menanyakan kepada saya mengapa banyak lulusan Institut Pertanian Bogor bekerja di tempat yang salah. Ketika saya tanyakan apa yang dimaksudkannya dengan tempat yang salah itu, ternyata yang dimaksudkannya adalah pekerjaan menjadi wartawan atau editor buku ilmiah. Saya katakan bahwa hal itu samasekali bukan salah tempat, karena sebagian lulusan Institut Pertanian Bogor harus ada yang terjun ke dunia penyuluhan pertanian pada khususnya, dan dunia penyuluhan pembangunan pada umumnya. Harus kita sadari sekarang bahwa media penyuluhan yang terbaik bagi manusia Indonesia masa kini dan masa depan seyogyanya adalah koran dan majalah mingguan. Kalau hal ini tidak kita setujui percuma saja kita berusaha agar koran masuk desa.
Apa persyaratan agar seseorang dapat memenuhi perayaratan sebagai penyuluh pembangunan dalam era pembangunan ini? Apakah persyaratan pertamanya harus lulus dari pendidikan kewartawanan, ataukah yang pertama harus dikuasainya adalah sektor yang akan dijadikannya obyek penyuluhan, dan sesudah itu baru kemampuan menulis dengan jelas dan menarik. Masalahnya mirip dengan pertanyaan apa yang seharusnya diketahui terlebih dahulu oleh seorang guru matematika di SMA. Pengetahuan dasar tentang matematika ataukah cukup dengan berusaha mengetahui cara mengejar saja?
Menurut keyakinan saya, sebagian lulusan Institut Pertanian Bogor dan perguruan tinggi pertanian lainnya memenuhi persyaratan untuk menjadi wartawan penyuluh pembangunan. Bidang ilmu tertentu sudah dikuasai olehnya. Membaca situasi permasalahan telah dilatihkan kepadanya melalui latihan mempelajari kepustakaan, praktek lapang, praktikum, latihan berwawancara, dan pelaksanaan suatu penelitian. Sedangkan latihan mengemukakan pendapat telah diperolehnya melalui seminar-seminar yang harus dihadirinya sebelum ia menulis dan sewaktu ia mempertahankan karya tulis hasil penelitiannya. Hasil akhir karya tulisnya dengan demikian baginya adalah latihan menulis agar tulisannya depat dipahami orang lain.
Penghargaan sangat membesarkan hati yang pernah saya peroleh mengenai anak-anak saya yang akhirnya menjadi wartawan saya terima sewaktu secara kebetulan saya berjumpa dengan direktur suatu usaha penerbitan buku di salah satu ruang tunggu pesawat di lapangan udara Changi. Saya sedang menyambung perjalanan dari Manila ke Jakarta sedangkean tokoh penerbit itu baru saja kembali dari Kuala Lumpur menghadiri suatu pekan buku. Tiba-tiba saja ia nyeletuk; ”Wah, lulusan-lulusanmu yang bekerja pada divisi penerbitan benar-benar siap pakai”.
Kalau tulisan ini diberi judul berupa pertanyaan, sekarang wajar kiranya menutup tulisan ini dengan pernyataan: “Pantesan ada lulusan IPB yang perlu jadi wartawan!” (Andi Hakim Nasution, Rektor IPB)
Sumber: Kompas, 19 Mei 1986