Apakah Tuhan menciptakan kejahatan? Seorang Profesor dari sebuah universitas terkenal menantang mahasiswa-mahasiswa nya dengan pertanyaan ini,
"ApakahTuhan menciptakan segala yang ada?".
Seorang mahasiswa dengan berani menjawab,
"Betul, Dia yang menciptakan semuanya".
"Tuhan menciptakan semuanya?" Tanya professor sekali lagi.
"Ya, Pak, semuanya" kata mahasiswa tersebut. Profesor itu menjawab,
"Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan."
Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor tersebut.
Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia telah membuktikan kalau agama itu adalah sebuah mitos. Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata,
"Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?"
"Tentu saja," jawab si Profesor. Mahasiswa itu berdiri dan bertanya,
"Profesor, apakah dingin itu ada?"
"Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada. Kamu tidak pernah sakit flu?" Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa lainnya.
Mahasiswa itu menjawab, "Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -46'F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas".
Mahasiswa itu melanjutkan, "Profesor, apakah gelap itu ada?"
Profesor itu menjawab, "Tentu saja itu ada."
Mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi anda salah, Pak. Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya."
Akhirnya mahasiswa itu bertanya,
"Profesor, apakah kejahatan itu ada?"
Dengan bimbang professor itu menjawab,
"Tentu saja, seperti yang telah kukatakan sebelumnya. Kita melihat setiap hari di Koran dan TV. Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan.
" Terhadap pernyataan ini mahasiswa itu menjawab,
"Sekali lagi Anda salah, Pak. Kejahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan. Seperti dingin atau gelap, kejahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kejahatan. Kejahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih Tuhan dihati manusia. Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya."
Profesor itu terdiam. Nama mahasiswa itu adalah Albert Einstein . .. .
Feb 24, 2009
Apakah Tuhan menciptakan kejahatan?
Feb 10, 2009
Mencermati Tiga Etape Perjalanan Panjang China
08/02/09 09:39
Oleh Bob Widyahartono MA *)
Jakarta (ANTARA News) - Tahun 2009 dalam horoskop China disebut sebagai "tahun Kerbau" berelemen tanah (Earth Ox Year). Sejak melajunya era Deng Xiaoping (1978), masyarakat Indonesia, terutama para elite birokrasi pemerintahan, eksponen bisnis termasuk manajemen menengahnya, mencermati, perkembangan politik, ekonomi dan budaya China, sekalipun banyak yang meragukan makna menimba belajar dari China.
Tanpa menganggap enteng, kini sejak tahun lalu, dunia mengalami krisis ekonomi global yang diakibatkan dan gulirkan ke bagian besar dunia oleh sistem perekonomian kapitalisme berjiwa dan berwujud neo-liberalisme Amerika Serikat (AS), antara lain rontoknya pasar modal Wall Street, dan berbagai kegagalan antara lain sub-prime mortgage AS.
Berbagai kalangan di Indonesia, termasuk penulis, mencemaskan obatnya krisis masih satu dua tahunan. Karena itu, elite birokrasi, bisnis dan kalangan kelas menengah kita perlu belajar dan mencermati perjalanan panjang banga China yang penuh dinamika naik-turun, termasuk dalam berjaga-jaga menghadapi dampak krisis itu memasuki tahun tahun yang akan datang.
Evelyn Lip (PhD Arch) dalam "Out of China",(Addision Wesley Publishing Company 1993) yang dikenal luas sebagai pakar arsitektur internasional menyadari bahwa membutuhkan lebih dari satu masa hidup (life time) untuk menggapai pengetahuan dalam segala bentuk dan kebajikan fisafat China. Artinya, "tiada akhirnya untuk terus belajar" (there is no end in learning = xue wu zhong zhi).
Perkembangan bangsa China sejak 1949, merupakan perjalanan panjang (long march) yang setiap etapenya 30 tahunan. Diawali dengan eranya Mao Zedong 1949-1976 dengan ketertutupan masyarakat dan ekonomi terencana yang ketat.
Kejadian kejadian di China jelas tidak dapat dipahami tanpa suatu rasa hormat pada fenomena Deng Xiaoping sebagai pemimpin pelopor etape keduanya. Impian awal tahun 1980an untuk suatu masa depan yang lebih cemerlang di China makin menampak dalam realita di bawah kepemimpinannya. Nah, marilah kita mengikuti perjalanan panjang sejarah China tiap etapenya
Long march pertama (1949-1978)
Ditinjau dari segi ekonomi sosial, China tadinya suatu masyarakat "non-materialistis" yang dilandasi ajaran Maoisme di bawah kepemimpinan Mao Zedong, China 1949-1976 yang segala kehidupan politik, ekonomi dan budaya diputuskan di Pusat Pemerintahan Beijing. Ketika zaman itu Eropa Timur sebelum era keterbukaan disebut "negara tirai besi" (the iron curtain).
China di bawah kepempimpian Mao Zedong (1949-1976) dijuluki sebagai ketertutupan oleh "tirai bambu" (the bamboo curtain).
Long march kedua (1978-2008)
Ekonomi-pasar sosialis yang digerakkan oleh nilai nilai kemakmuran individual sebagai reformasi yang dipelopori Deng Xiaoping sejak 1978 itu disebut sebut sebagai "gaige kaifang" (membuka diri dan reformasi tata kelola).
Figur Deng Xiaoping tidak hanya banyak dikagumi dalam negerinya tapi oleh dunia luar China. Sepatutnya disebut disini kekaguman oleh negarawan Malaysia, Dr. Mahathir Mohamad, dalam "Globalization with common Development" (Oktober 2001) yang antara lain mengemukakan tidak perlu diragukan bahwa salah seorang agung (great men) abad 20 adalah Deng Xiaoping,
Bapak Empat Modernisasi China. Juga tidak usah diragukan bahwa dua dari petuah bijaksana (wise sayings) harus berada dalam benak pikiran kita ketika kita berbicara mengenai isu isu besar masa kini, bahkan setiap masa.
Kedua petuah tidak bisa diabaikan sebagai sarana untuk menganalisis dan sebagai pedoman bernilai dalam setiap tindakan kita. Deng berucap bahwa kita harus mencari kebenaran dari fakta. Artinya, kita jangan mendeduksi kebenaran hanya dari harapan harapan, sekalipun harapan harapan itu terhitung mulia.
Status historis dan signifikansi teori Deng Xiaoping yang dikenal sebagai "empat prinsip dasar" yang oleh Deng sendiri disebut sebagai langkah awal reformasi dan kebijakan membuka diri (gaige kaifang).
Prinsip dasar modernisasi , antara lain menumbuhkembangkan pemikiran dan mencari kebenaran dari fakta Pemahaman yang jelas tentang apa yang disebut รข��"sosialisme dan bagaimana membangunnya" disertai reformasi menyeluruh.
Digantinya prinsip pertentangan kelas dengan pembangunan ekonomi dan digantinya ekonomi terencana (planned economy) dengan ekonomi pasar sosialis. Penilaian yang cermat dan ilmiah atas perubahan perubahan dalam situasi global. Suatu sistem sosialisme dengan karakteristik China.
Makin jelas visi Deng Xiaoping "gaige kaifang" yang tidak terbatas pada ekonomi, tetapi sudah memasuki peta geopolitik sosial budaya Ungkapan pragmatisterkenal Deng antara lain tidak peduli apakah kucing itu hitam atau putih warnanya, tapi kucing itu harus menangkap tikus dan menjadi kaya itu mulia.
Teorinya tidak mutlak untuk negaranya, tapi menjadi panduan para penerus elite pemimpin bangsanya.
Penerus kepemimpinan China, duet Jiang Zemin/Zhu Rongji (1992-2003) dan Hu Jintao/Wen Jiabao (2003-2008) dan periode keduanya. Hu/Wen tetap memantapkan visi Deng Xiaoping dalam ber-internasionalisasi.
Yuan Ming, gurubesar hubungan internasional pada Universitas Beijing, sebagai pakar mengenai Amerika dalam wawancaranya dengan Thomas L. Friedman yang dituangkan dalam "Understanding Globalization: The Lexus and the Olive Tree" (2000) tidak sepenuhnya mendukung istilah globalisasi.
Yuan Ming mengungkapkan pola pikir kritis China terhadap arogansi global Amerika, dengan menyatakan bahwa pemimpin politik China dalam ungkapan ungkapan publik tidak memakai istilah globalisasi, tapi lebih suka memakai istilah modernisasi.
Globalisasi menunjukkan sesuatu yang tidak digemari oleh pikiran China karena didesakkan oleh Barat atau Amerika. Sebaliknya, modernisasi adalah sesuatu yang dapat dikendalikan (something we can control).
Ada suara menyegarkan dari pihak China dalam konperensi WTO, 10-14 September 2003 lalu di Cancun, Meksiko. Sebagai anggota baru, Cina menyatukan diri dengan negara negara dunia ketiga, bersama Brasil dan Indonesia, menjadi sponsor utama kelompok 21 yang menuntut penghapusan subsidi produk pertanian AS dan Uni Eropa.
Sikap China benar benar berpihak pada negara negara miskin. Kini memasuki putaran WTO Doha 2008 tentunya kelompok 21 tetap memiliki kebersamaan bahka sampai siding WTO tahun lalu.
Memasuki long march ketiga mulai 2008
Alih generasi pemimpin China ke generasi ke empat Hu Jintao/Wen Jiabao mencuatkan dominasi inti teknokrat dalam mengendalikan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Dalam hubungan ini adalah pragmatisme dengan arus teknokrat "si hua" atau empat mengubah remaja, mengubah menjadi bersemangat kerja keras dan cerdas, mengubah menjadi profesional dan mengubah menjadi berpendidikan. Jadi kader kader Partai tidak boleh lagi hanya berbekal pengetahuan yang berasal dari buku indoktrinasi.
Setiap bangsa dapat bangkit dan mencapai tingkat kemakmuran oleh budaya produktivitas. Budaya ini juga diresapi oleh bangsa China. Budaya ini muncul akibat persaingan antar-bangsa yang mencuat setelah terjadinya gejala globalisme dan menjadi menarik karena terlibatnya peran negara dalam persaingan, dan elemen kultur tersebut.
Selain itu, rencana pembangunan infrastruktur fisik jalanan, kereta api dari Utara ke Selatan, dari Timur ke Barat, pembangunan Chu Chiang river Delta dan industrial parks melengkapi kemajuan kawasan industri yang sudah ada di Kawasan Timur.
Yang mengusik kita adalah apakah memasuki eranya Hu Jintao ini sudah mulai tersusun Model modernisasi China? Bangsa China sendiri merasakan bahwa pejabat China bukan penghalang, bahkan malahan menjadi pendorong beroperasinya ekonomi pasar sosialis, yang tanggap dan tangguh merespons krisis ekonomi global yang digelindingkan As dengan kapitalisme yang berjiwa neo-liberalisme diawali dengan rontoknya Pasar Modal Wall Street tersebut di atas.
Inilah beberapa butir yang dapat kita pelajari sebagai bahan tanpa menjiplak mentah mentah proses dan apa yang berlaku bagi China.
*) Bob Widyahartono MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat studi pembangunan, terutama kawasan Asia Timur; dan Lektor Kepala Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar).
Oleh Bob Widyahartono MA *)
Jakarta (ANTARA News) - Tahun 2009 dalam horoskop China disebut sebagai "tahun Kerbau" berelemen tanah (Earth Ox Year). Sejak melajunya era Deng Xiaoping (1978), masyarakat Indonesia, terutama para elite birokrasi pemerintahan, eksponen bisnis termasuk manajemen menengahnya, mencermati, perkembangan politik, ekonomi dan budaya China, sekalipun banyak yang meragukan makna menimba belajar dari China.
Tanpa menganggap enteng, kini sejak tahun lalu, dunia mengalami krisis ekonomi global yang diakibatkan dan gulirkan ke bagian besar dunia oleh sistem perekonomian kapitalisme berjiwa dan berwujud neo-liberalisme Amerika Serikat (AS), antara lain rontoknya pasar modal Wall Street, dan berbagai kegagalan antara lain sub-prime mortgage AS.
Berbagai kalangan di Indonesia, termasuk penulis, mencemaskan obatnya krisis masih satu dua tahunan. Karena itu, elite birokrasi, bisnis dan kalangan kelas menengah kita perlu belajar dan mencermati perjalanan panjang banga China yang penuh dinamika naik-turun, termasuk dalam berjaga-jaga menghadapi dampak krisis itu memasuki tahun tahun yang akan datang.
Evelyn Lip (PhD Arch) dalam "Out of China",(Addision Wesley Publishing Company 1993) yang dikenal luas sebagai pakar arsitektur internasional menyadari bahwa membutuhkan lebih dari satu masa hidup (life time) untuk menggapai pengetahuan dalam segala bentuk dan kebajikan fisafat China. Artinya, "tiada akhirnya untuk terus belajar" (there is no end in learning = xue wu zhong zhi).
Perkembangan bangsa China sejak 1949, merupakan perjalanan panjang (long march) yang setiap etapenya 30 tahunan. Diawali dengan eranya Mao Zedong 1949-1976 dengan ketertutupan masyarakat dan ekonomi terencana yang ketat.
Kejadian kejadian di China jelas tidak dapat dipahami tanpa suatu rasa hormat pada fenomena Deng Xiaoping sebagai pemimpin pelopor etape keduanya. Impian awal tahun 1980an untuk suatu masa depan yang lebih cemerlang di China makin menampak dalam realita di bawah kepemimpinannya. Nah, marilah kita mengikuti perjalanan panjang sejarah China tiap etapenya
Long march pertama (1949-1978)
Ditinjau dari segi ekonomi sosial, China tadinya suatu masyarakat "non-materialistis" yang dilandasi ajaran Maoisme di bawah kepemimpinan Mao Zedong, China 1949-1976 yang segala kehidupan politik, ekonomi dan budaya diputuskan di Pusat Pemerintahan Beijing. Ketika zaman itu Eropa Timur sebelum era keterbukaan disebut "negara tirai besi" (the iron curtain).
China di bawah kepempimpian Mao Zedong (1949-1976) dijuluki sebagai ketertutupan oleh "tirai bambu" (the bamboo curtain).
Long march kedua (1978-2008)
Ekonomi-pasar sosialis yang digerakkan oleh nilai nilai kemakmuran individual sebagai reformasi yang dipelopori Deng Xiaoping sejak 1978 itu disebut sebut sebagai "gaige kaifang" (membuka diri dan reformasi tata kelola).
Figur Deng Xiaoping tidak hanya banyak dikagumi dalam negerinya tapi oleh dunia luar China. Sepatutnya disebut disini kekaguman oleh negarawan Malaysia, Dr. Mahathir Mohamad, dalam "Globalization with common Development" (Oktober 2001) yang antara lain mengemukakan tidak perlu diragukan bahwa salah seorang agung (great men) abad 20 adalah Deng Xiaoping,
Bapak Empat Modernisasi China. Juga tidak usah diragukan bahwa dua dari petuah bijaksana (wise sayings) harus berada dalam benak pikiran kita ketika kita berbicara mengenai isu isu besar masa kini, bahkan setiap masa.
Kedua petuah tidak bisa diabaikan sebagai sarana untuk menganalisis dan sebagai pedoman bernilai dalam setiap tindakan kita. Deng berucap bahwa kita harus mencari kebenaran dari fakta. Artinya, kita jangan mendeduksi kebenaran hanya dari harapan harapan, sekalipun harapan harapan itu terhitung mulia.
Status historis dan signifikansi teori Deng Xiaoping yang dikenal sebagai "empat prinsip dasar" yang oleh Deng sendiri disebut sebagai langkah awal reformasi dan kebijakan membuka diri (gaige kaifang).
Prinsip dasar modernisasi , antara lain menumbuhkembangkan pemikiran dan mencari kebenaran dari fakta Pemahaman yang jelas tentang apa yang disebut รข��"sosialisme dan bagaimana membangunnya" disertai reformasi menyeluruh.
Digantinya prinsip pertentangan kelas dengan pembangunan ekonomi dan digantinya ekonomi terencana (planned economy) dengan ekonomi pasar sosialis. Penilaian yang cermat dan ilmiah atas perubahan perubahan dalam situasi global. Suatu sistem sosialisme dengan karakteristik China.
Makin jelas visi Deng Xiaoping "gaige kaifang" yang tidak terbatas pada ekonomi, tetapi sudah memasuki peta geopolitik sosial budaya Ungkapan pragmatisterkenal Deng antara lain tidak peduli apakah kucing itu hitam atau putih warnanya, tapi kucing itu harus menangkap tikus dan menjadi kaya itu mulia.
Teorinya tidak mutlak untuk negaranya, tapi menjadi panduan para penerus elite pemimpin bangsanya.
Penerus kepemimpinan China, duet Jiang Zemin/Zhu Rongji (1992-2003) dan Hu Jintao/Wen Jiabao (2003-2008) dan periode keduanya. Hu/Wen tetap memantapkan visi Deng Xiaoping dalam ber-internasionalisasi.
Yuan Ming, gurubesar hubungan internasional pada Universitas Beijing, sebagai pakar mengenai Amerika dalam wawancaranya dengan Thomas L. Friedman yang dituangkan dalam "Understanding Globalization: The Lexus and the Olive Tree" (2000) tidak sepenuhnya mendukung istilah globalisasi.
Yuan Ming mengungkapkan pola pikir kritis China terhadap arogansi global Amerika, dengan menyatakan bahwa pemimpin politik China dalam ungkapan ungkapan publik tidak memakai istilah globalisasi, tapi lebih suka memakai istilah modernisasi.
Globalisasi menunjukkan sesuatu yang tidak digemari oleh pikiran China karena didesakkan oleh Barat atau Amerika. Sebaliknya, modernisasi adalah sesuatu yang dapat dikendalikan (something we can control).
Ada suara menyegarkan dari pihak China dalam konperensi WTO, 10-14 September 2003 lalu di Cancun, Meksiko. Sebagai anggota baru, Cina menyatukan diri dengan negara negara dunia ketiga, bersama Brasil dan Indonesia, menjadi sponsor utama kelompok 21 yang menuntut penghapusan subsidi produk pertanian AS dan Uni Eropa.
Sikap China benar benar berpihak pada negara negara miskin. Kini memasuki putaran WTO Doha 2008 tentunya kelompok 21 tetap memiliki kebersamaan bahka sampai siding WTO tahun lalu.
Memasuki long march ketiga mulai 2008
Alih generasi pemimpin China ke generasi ke empat Hu Jintao/Wen Jiabao mencuatkan dominasi inti teknokrat dalam mengendalikan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Dalam hubungan ini adalah pragmatisme dengan arus teknokrat "si hua" atau empat mengubah remaja, mengubah menjadi bersemangat kerja keras dan cerdas, mengubah menjadi profesional dan mengubah menjadi berpendidikan. Jadi kader kader Partai tidak boleh lagi hanya berbekal pengetahuan yang berasal dari buku indoktrinasi.
Setiap bangsa dapat bangkit dan mencapai tingkat kemakmuran oleh budaya produktivitas. Budaya ini juga diresapi oleh bangsa China. Budaya ini muncul akibat persaingan antar-bangsa yang mencuat setelah terjadinya gejala globalisme dan menjadi menarik karena terlibatnya peran negara dalam persaingan, dan elemen kultur tersebut.
Selain itu, rencana pembangunan infrastruktur fisik jalanan, kereta api dari Utara ke Selatan, dari Timur ke Barat, pembangunan Chu Chiang river Delta dan industrial parks melengkapi kemajuan kawasan industri yang sudah ada di Kawasan Timur.
Yang mengusik kita adalah apakah memasuki eranya Hu Jintao ini sudah mulai tersusun Model modernisasi China? Bangsa China sendiri merasakan bahwa pejabat China bukan penghalang, bahkan malahan menjadi pendorong beroperasinya ekonomi pasar sosialis, yang tanggap dan tangguh merespons krisis ekonomi global yang digelindingkan As dengan kapitalisme yang berjiwa neo-liberalisme diawali dengan rontoknya Pasar Modal Wall Street tersebut di atas.
Inilah beberapa butir yang dapat kita pelajari sebagai bahan tanpa menjiplak mentah mentah proses dan apa yang berlaku bagi China.
*) Bob Widyahartono MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat studi pembangunan, terutama kawasan Asia Timur; dan Lektor Kepala Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar).
Feb 2, 2009
Dari Komunitas Ekonomi ASEAN ke Regionalisme Asia Timur
Bob Widyahartono M.A. *)
Jakarta (ANTARA News) - Akhir tahun 2007, terungkap para pemegang kendali diplomasi politik dan ekonomi kita dengan upaya melibatkan kalangan pengamat dan akademisi baik di Jakarta maupun di daerah, tengah merumuskan kelanjutan langkah-langkah deklarasi Komunitas Ekonomi Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara/ASEAN (ASEAN Economic Community) yang disepakati dalam Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN 18-20 November 2007 lalu di Singapura dengan target tahun 2015.
Kini kita memasuki tahun 2009, lalu apa saja visi yang lebih konkrit untuk dibawa akhir bulan Februari 2009 dalam KTT ASEAN di Thailand. Jangan lupa, kini dunia mengalami krisis ekonomi global dengan menjalarnya krisis ekonomi Amerika Serikat (AS) sejak 2008. Masih mampukah lembaga-lembaga multinasional berperan ikut mengatasi krisis tersebut?
Sejarah globalisasi versi AS sejak dasa warsa 1980an membawa dampak yang tidak adil bagi Asia. Terjadilah persaingan bebas dalam arti yang kuat yang menang (the winner takes all), dan dalam ekonomi pasar bebas, tetapi tidak adil (free market, but no fair market ).
Lembaga-lembaga multilateral, layaknya Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Organisasi Pasar Bebas Dunia (WTO) dalam proses pengambilan keputusan atas persoalan persoalan seperti disput antar-anggota, tuduhan dumping yang dihadapi dunia, termasuk Asia, didominasi oleh AS hingga proses pengambilan keputusan seringkali menghadpi jalan buntu (deadlock).
Berbagai lembaga multilateral itu dalam sejarahnya menunjukkan kegagalan dalam membawa misi dan visi orisinalnya dalam menciptakan keadilan. Globalisasi sebagai sarana masih saja belum berhasil dalam meniadakan cara-cara beggar thy neighbor, yang dapat diartikan sebagai praktik kebijakan internasional yang menyangkut penerapan larangan/hambatan sepihak, sehingga negara lain, bahkan mitra dagang, dirugikan. Para pemenang (winners) hanyalah negara-negara besar yang tergabung dalam G-7.
Sedangkan, mayoritas negara-negara berkembang yang terdesak dipersilakan menderita lebih lama. Marilah kita mencermati ungkapan dua peneliti senior Jepang yang tergabung dalam Institute of Developing Economies (IDE/JETRO ).
Pertama, Kunimune Kozo dalam Asian Economic Crisis 97/98: Issues in Macroeconomic Imbalances, Capital Outflows and Financial Crisis yang menyoroti peranan IMF, antara lain:
1) Kebijakan ekonomi , termasuk kebijakan kurs mata , tidak memberi suatu respon yang tepat guna terhadap masuknya secara besar-besaran modal asing,
2.) Pengawasan atas lembaga-lembaga keuangan domestik, tidaklah memadai. Krisis finansial menjadi makin buruk, dan karena itu banyak pihak bersikap pesimistis terhadap pembangunan masa depan. Ternyata, jauh-jauh hari ia meramalkan masa depan IMF yang tidak cerah.
Sementara itu, Kunimune bersama Chie Kashiwabara dalam The Role of the IMF mengulas secara lebih tajam bahwa "... IMF merupakan lembaga dengan sejumlah staf yang terhitung berbobot. Namun, ia merupakan suatu bentuk birokrasi.
Kelemahan besar lembaga-lembaga birokrati adalah bahwa mereka tidak sanggup mengurangi beban kerja yang harus dilakukan, dan malahan mereka cenderung menciptakan lebih banyak upaya."
Padahal, menurut mereka, seharusnya peranan IMF dibatasi, agar memungkinkan mengembangkan sumber daya manusianya dengan suatu cara yang terfokus. Secara realistis, IMF itu tidaklah maha kuasa. Betapa pun hebatnya kompetensi stafnya, IMF tidak mungkin menulis resep generik dan mengawasi pengobatan untuk setiap masalah krisis ekonomi.
Dalam kaitan tersebut, Kunimune bersama Chie Kashiwabara menilai, peranan para politisi negara-negara donor untuk mengisi titik-titik lemah dari lembaga lembaga birokrasi. Dalam kasus IMF, para politisi dari negara-negara donor harus mengambil prakarsa, dan menunjukkan cara membatasi peranan IMF dan membatasi beban kerjanya.
Sedangkan, Bank Dunia (World Bank/WB) baru-baru ini yang berada di bawah kendali AS dan Uni Eropa (UE) berupaya menerapkan restrukturisasi dengan implementasi kerjanya masih menjadi pertanyaan, terutama menyangkut seberapa layak hasilnya juga bagi negara negara berkembang. WTO yang beranggotakan 146 negara, dan sekira 80% adalah negara berkembang juga terlihat tetap saja negara maju, terutama AS dan beberapa negara UE yang mendominasi proses pengambilan keputusan dalam bidang pertanian, investasi, kebijakan persaingan, lingkungan hidup, dan pembelanjaan pemerintah.
Suatu titik terang adalah dengan kekompakan negara berkembang sejak masuknya China sebagai anggota WTO pada 2001. Dengan makin kompaknya negara-negara berkembang dalam sidang tahunan WTO, maka membuat negara maju pimpinan AS tidak berhasil dalam memperoleh kesepakatan, sampai putaran pertemuan di Doha (Doha round) yang hingga kini mengalami kebuntuan, dan diharapkan dalam tahun ini ada langkah awal solusinya, meskipun akan sulit memperoleh kesepakatan. Ternyata, kelanjutan putaran Doha di Jenewa (Swiss) pada Agustus 2008 juga mengalami kegagalan mencapai kesepakatan
Beragam kritik dan protes terbuka, baik dalam sidang tertutup maupun oleh kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dari berbagai negara terhadap globalisasi justru. Hal itu dimulai selama putaran di Seattle tahun 2000 dan tahun-tahun berikutnya. WTO dicap dalam berbagai demonstrasi terbuka oleh LSM sebagai simbol ketidaksetaraan dan hipokrisi AS dan beberapa negara maju UE. Sudah sejak 2000, AS yang terus mendesak negara-negara berkembang tidak memberi subsidi pada industrinya. Sebaliknya, AS sendiri mengucurkan miliaran dolar AS subsidi sebagai proteksi terhadap para petaninya untuk menghambat persaingan dari negara-negara berkembang.
Oleh karena itu, Noorena Hertz (2001) dalam The Silent Take-over: Global Capitalism and the Death of Democracy secara gamblang mengungkapkan, agar komunitas dunia tidak terjebak dalam pandangan yang membingungkan antara "demokrasi dengan kapitalisme".
Elite politik negara adi daya dan korporatnya (Multi-Nasional Company/MNC) secara implisit mau menang sendiri dalam sikap pandang tentang globalisasi dan wujudnya WTO. WTO sendiri sejauh ini belum berkutik selain membentuk berbagai divisi: badan banding, divisi penilai dan divisi legal yang diarahkan untuk memecahkan disput antar-anggota WTO.
Suatu dunia yang diglobalisasi (a globalised world) tidaklah akan menjadi suatu dunia yang demokratis murni. Mau tak mau WTO menjadi milik negara-negara adi daya (powerful dominant countries). Melalui peranan politisinya, mereka akan memaksakan kepentingan mereka kepada negara-negara lainnya, baik secara eksplisit maupun tak kentara. Meskipun demikian, negara-negara berkembang harus menyadari dan mengakui bahwa globalisasi sudah menjadi realita di dunia ini.
Hal tersebut tidak berarti bahwa negara berkembang harus pasrah menerima nasib. Pengamatan menunjukkan bahwa tidak banyak perubahan yang terjadi dalam pengaturan institusi ekonomi dan moneter, serta tata kelola IMF, Bank Dunia dan WTO.
Sejauh ini, hal yang terjadi adalah keteraturan waktu penggantian Direktur Ekskutif di kedua institusi, walaupun awalnya menyatakan akan melakukan reformasi operasi lembaga. IMF selalu dipimpin oleh seorang direktur berkebangsaan UE, sedangkan Bank Dunia ditunjuk dari AS.
Peranan korporat (MNC) AS dalam mendesakkan peraturan internasional tetap saja terjadi. Sejauh ini pula banyak sekali peraturan internasional muncul dari kasak kusuk MNC, dalam arti bukan politisi tetapi bisnis terkemuka yang setengahnya mendikte. Terjadilah praktik MNC yang mengarahkan politisi mengenai apa yang harus para politisi negara berkembang kerjakan. MNC dan politisi negara berkembang banyak yang menjalani praktik "dwi-fungsi" (pengusaha-penguasa) yang sampai kini masih menikmati sebagai pihak paling diuntungkan, sehingga berupaya mempertahankan statusnya (status quo), yakni posisi mereka dalam mempengaruhi lembaga-lembaga internasional dan globalisasi.
Visi Regionalisme ke Asia Timur
Oleh karena itu, dalam kebersamaan ASEAN harus diperluas ke Asia Timur dalam menghadapi tata kelola yang tidak adil menghadapi gaya IMF, Bank Dunia, WTO bersama MNC-nya. Indonesia harus berani muncul dengan rumusan strategi total diplomasi baru. Artinya, dalam kebersamaan kelompok menggerakkan strategi "angsa terbang bersama" (flying geese), dan bukan "angsa-angsa yang tidak kompak, terbang sendiri-sendiri" (the individual flying).
Prakarsa semacam itu merupakan proses dengan "rencana dan program, serta ketepatan waktu", atau tanpa menunda implementasinya, sehingga bukan memunculkan rumusan yang indah, tapi implementasinya minim.
Deklarasi Komunitas Ekonomi ASEAN yang dipelopori perumusannya oleh delegasi Indonesia repotnya oleh beberapa kalangan di dalam negeri dianggap agak ambisius. Alasannya, karena tahap pembangunan yang begitu senjang, kecil harapan integrasi ekonomi menjadi realita tahun 2015, tujuh tahun mendatang.
Dapat dimengerti bahwa pesimisme tersebut, karena substansi deklarasi dan kerangka kerja strategis komunitas tersebut belum disosialisasikan, terutama di kelas menengah masyarakat, baik di pusat maupun daerah.
Kelas menengahlah (tanpa bentuk formal) dan dalam lingkungan masing-masing, termasuk kalangan akademisi dapat menjadi daya penggerak/motivator dengan kekuatan moral berperan serta dalam diplomasi ekonomi.
Dalam kebersamaan menggerakkan diplomasi total itu, pihak Indonesia perlu menyadari bahwa menciptakan suatu komunitas demikian itu harus meyakini bahwa karakternya dalam arti budaya kerja (productivity culture) adalah ASEAN. Artinya, diresapi dan dijiwai oleh toleransi, saling menghargai (moderation), pluralisme budaya, dan fleksibilitas dalam berinteraksi.
Di bawah payung yang besar itu, komunitas dapat bergerak dengan fleksibilitas kelompok-kelompok kerja dalam jiwa keterbukaan untuk mencapai visi komunitas yang riil. Ini bukan hal yang cepat selesai, tapi membutuhkan keuletan dan konsistensi.
Hendaknya bangsa ini perlu mencermati pemikiran yang ditulis oleh Qian Qichen, mantan Wakil Perdana Menteri Republik Rakyat China, dalam Towards a bright future of regionalism (Global Asia, September 2006): "Regionalisasi dan globalisasi merupakan proses yang sejajar yang tidak bertentangan. Kita harus memiliki keberanian politis yang memadai untuk tidak membiarkan konflik menghalangi arah ke tingkatan tingkatan lebih tinggi dari kerjasama regional. Jangan sekali-kali mencari hegemoni. Pembangunan secara damai dengan tiga hal rasional, yakni bertetangga baik, damai dengan tetangga, dan kemakmuran pada tetangga akan memberi wujud riil abad Asia.."
Kelompok elite, eksponen bisnis dan kalangan akademisi hendaknya pula terlibat membawakan sikap pandang positif, menanggalkan budaya menunda-nunda dalam implementasi atas dasar rencana kerja (time line) dan program aksi yang didukung anggaran memadai dalam memberi substansi Komunitas Ekonomi ASEAN, kemudian regionalisme Asia Timur.
*) Bob Widyahartono MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat studi pembangunan, terutama wilayah Asia Timur; dan Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar) Jakarta
22/02/09 13:26
Jakarta (ANTARA News) - Akhir tahun 2007, terungkap para pemegang kendali diplomasi politik dan ekonomi kita dengan upaya melibatkan kalangan pengamat dan akademisi baik di Jakarta maupun di daerah, tengah merumuskan kelanjutan langkah-langkah deklarasi Komunitas Ekonomi Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara/ASEAN (ASEAN Economic Community) yang disepakati dalam Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN 18-20 November 2007 lalu di Singapura dengan target tahun 2015.
Kini kita memasuki tahun 2009, lalu apa saja visi yang lebih konkrit untuk dibawa akhir bulan Februari 2009 dalam KTT ASEAN di Thailand. Jangan lupa, kini dunia mengalami krisis ekonomi global dengan menjalarnya krisis ekonomi Amerika Serikat (AS) sejak 2008. Masih mampukah lembaga-lembaga multinasional berperan ikut mengatasi krisis tersebut?
Sejarah globalisasi versi AS sejak dasa warsa 1980an membawa dampak yang tidak adil bagi Asia. Terjadilah persaingan bebas dalam arti yang kuat yang menang (the winner takes all), dan dalam ekonomi pasar bebas, tetapi tidak adil (free market, but no fair market ).
Lembaga-lembaga multilateral, layaknya Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Organisasi Pasar Bebas Dunia (WTO) dalam proses pengambilan keputusan atas persoalan persoalan seperti disput antar-anggota, tuduhan dumping yang dihadapi dunia, termasuk Asia, didominasi oleh AS hingga proses pengambilan keputusan seringkali menghadpi jalan buntu (deadlock).
Berbagai lembaga multilateral itu dalam sejarahnya menunjukkan kegagalan dalam membawa misi dan visi orisinalnya dalam menciptakan keadilan. Globalisasi sebagai sarana masih saja belum berhasil dalam meniadakan cara-cara beggar thy neighbor, yang dapat diartikan sebagai praktik kebijakan internasional yang menyangkut penerapan larangan/hambatan sepihak, sehingga negara lain, bahkan mitra dagang, dirugikan. Para pemenang (winners) hanyalah negara-negara besar yang tergabung dalam G-7.
Sedangkan, mayoritas negara-negara berkembang yang terdesak dipersilakan menderita lebih lama. Marilah kita mencermati ungkapan dua peneliti senior Jepang yang tergabung dalam Institute of Developing Economies (IDE/JETRO ).
Pertama, Kunimune Kozo dalam Asian Economic Crisis 97/98: Issues in Macroeconomic Imbalances, Capital Outflows and Financial Crisis yang menyoroti peranan IMF, antara lain:
1) Kebijakan ekonomi , termasuk kebijakan kurs mata , tidak memberi suatu respon yang tepat guna terhadap masuknya secara besar-besaran modal asing,
2.) Pengawasan atas lembaga-lembaga keuangan domestik, tidaklah memadai. Krisis finansial menjadi makin buruk, dan karena itu banyak pihak bersikap pesimistis terhadap pembangunan masa depan. Ternyata, jauh-jauh hari ia meramalkan masa depan IMF yang tidak cerah.
Sementara itu, Kunimune bersama Chie Kashiwabara dalam The Role of the IMF mengulas secara lebih tajam bahwa "... IMF merupakan lembaga dengan sejumlah staf yang terhitung berbobot. Namun, ia merupakan suatu bentuk birokrasi.
Kelemahan besar lembaga-lembaga birokrati adalah bahwa mereka tidak sanggup mengurangi beban kerja yang harus dilakukan, dan malahan mereka cenderung menciptakan lebih banyak upaya."
Padahal, menurut mereka, seharusnya peranan IMF dibatasi, agar memungkinkan mengembangkan sumber daya manusianya dengan suatu cara yang terfokus. Secara realistis, IMF itu tidaklah maha kuasa. Betapa pun hebatnya kompetensi stafnya, IMF tidak mungkin menulis resep generik dan mengawasi pengobatan untuk setiap masalah krisis ekonomi.
Dalam kaitan tersebut, Kunimune bersama Chie Kashiwabara menilai, peranan para politisi negara-negara donor untuk mengisi titik-titik lemah dari lembaga lembaga birokrasi. Dalam kasus IMF, para politisi dari negara-negara donor harus mengambil prakarsa, dan menunjukkan cara membatasi peranan IMF dan membatasi beban kerjanya.
Sedangkan, Bank Dunia (World Bank/WB) baru-baru ini yang berada di bawah kendali AS dan Uni Eropa (UE) berupaya menerapkan restrukturisasi dengan implementasi kerjanya masih menjadi pertanyaan, terutama menyangkut seberapa layak hasilnya juga bagi negara negara berkembang. WTO yang beranggotakan 146 negara, dan sekira 80% adalah negara berkembang juga terlihat tetap saja negara maju, terutama AS dan beberapa negara UE yang mendominasi proses pengambilan keputusan dalam bidang pertanian, investasi, kebijakan persaingan, lingkungan hidup, dan pembelanjaan pemerintah.
Suatu titik terang adalah dengan kekompakan negara berkembang sejak masuknya China sebagai anggota WTO pada 2001. Dengan makin kompaknya negara-negara berkembang dalam sidang tahunan WTO, maka membuat negara maju pimpinan AS tidak berhasil dalam memperoleh kesepakatan, sampai putaran pertemuan di Doha (Doha round) yang hingga kini mengalami kebuntuan, dan diharapkan dalam tahun ini ada langkah awal solusinya, meskipun akan sulit memperoleh kesepakatan. Ternyata, kelanjutan putaran Doha di Jenewa (Swiss) pada Agustus 2008 juga mengalami kegagalan mencapai kesepakatan
Beragam kritik dan protes terbuka, baik dalam sidang tertutup maupun oleh kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dari berbagai negara terhadap globalisasi justru. Hal itu dimulai selama putaran di Seattle tahun 2000 dan tahun-tahun berikutnya. WTO dicap dalam berbagai demonstrasi terbuka oleh LSM sebagai simbol ketidaksetaraan dan hipokrisi AS dan beberapa negara maju UE. Sudah sejak 2000, AS yang terus mendesak negara-negara berkembang tidak memberi subsidi pada industrinya. Sebaliknya, AS sendiri mengucurkan miliaran dolar AS subsidi sebagai proteksi terhadap para petaninya untuk menghambat persaingan dari negara-negara berkembang.
Oleh karena itu, Noorena Hertz (2001) dalam The Silent Take-over: Global Capitalism and the Death of Democracy secara gamblang mengungkapkan, agar komunitas dunia tidak terjebak dalam pandangan yang membingungkan antara "demokrasi dengan kapitalisme".
Elite politik negara adi daya dan korporatnya (Multi-Nasional Company/MNC) secara implisit mau menang sendiri dalam sikap pandang tentang globalisasi dan wujudnya WTO. WTO sendiri sejauh ini belum berkutik selain membentuk berbagai divisi: badan banding, divisi penilai dan divisi legal yang diarahkan untuk memecahkan disput antar-anggota WTO.
Suatu dunia yang diglobalisasi (a globalised world) tidaklah akan menjadi suatu dunia yang demokratis murni. Mau tak mau WTO menjadi milik negara-negara adi daya (powerful dominant countries). Melalui peranan politisinya, mereka akan memaksakan kepentingan mereka kepada negara-negara lainnya, baik secara eksplisit maupun tak kentara. Meskipun demikian, negara-negara berkembang harus menyadari dan mengakui bahwa globalisasi sudah menjadi realita di dunia ini.
Hal tersebut tidak berarti bahwa negara berkembang harus pasrah menerima nasib. Pengamatan menunjukkan bahwa tidak banyak perubahan yang terjadi dalam pengaturan institusi ekonomi dan moneter, serta tata kelola IMF, Bank Dunia dan WTO.
Sejauh ini, hal yang terjadi adalah keteraturan waktu penggantian Direktur Ekskutif di kedua institusi, walaupun awalnya menyatakan akan melakukan reformasi operasi lembaga. IMF selalu dipimpin oleh seorang direktur berkebangsaan UE, sedangkan Bank Dunia ditunjuk dari AS.
Peranan korporat (MNC) AS dalam mendesakkan peraturan internasional tetap saja terjadi. Sejauh ini pula banyak sekali peraturan internasional muncul dari kasak kusuk MNC, dalam arti bukan politisi tetapi bisnis terkemuka yang setengahnya mendikte. Terjadilah praktik MNC yang mengarahkan politisi mengenai apa yang harus para politisi negara berkembang kerjakan. MNC dan politisi negara berkembang banyak yang menjalani praktik "dwi-fungsi" (pengusaha-penguasa) yang sampai kini masih menikmati sebagai pihak paling diuntungkan, sehingga berupaya mempertahankan statusnya (status quo), yakni posisi mereka dalam mempengaruhi lembaga-lembaga internasional dan globalisasi.
Visi Regionalisme ke Asia Timur
Oleh karena itu, dalam kebersamaan ASEAN harus diperluas ke Asia Timur dalam menghadapi tata kelola yang tidak adil menghadapi gaya IMF, Bank Dunia, WTO bersama MNC-nya. Indonesia harus berani muncul dengan rumusan strategi total diplomasi baru. Artinya, dalam kebersamaan kelompok menggerakkan strategi "angsa terbang bersama" (flying geese), dan bukan "angsa-angsa yang tidak kompak, terbang sendiri-sendiri" (the individual flying).
Prakarsa semacam itu merupakan proses dengan "rencana dan program, serta ketepatan waktu", atau tanpa menunda implementasinya, sehingga bukan memunculkan rumusan yang indah, tapi implementasinya minim.
Deklarasi Komunitas Ekonomi ASEAN yang dipelopori perumusannya oleh delegasi Indonesia repotnya oleh beberapa kalangan di dalam negeri dianggap agak ambisius. Alasannya, karena tahap pembangunan yang begitu senjang, kecil harapan integrasi ekonomi menjadi realita tahun 2015, tujuh tahun mendatang.
Dapat dimengerti bahwa pesimisme tersebut, karena substansi deklarasi dan kerangka kerja strategis komunitas tersebut belum disosialisasikan, terutama di kelas menengah masyarakat, baik di pusat maupun daerah.
Kelas menengahlah (tanpa bentuk formal) dan dalam lingkungan masing-masing, termasuk kalangan akademisi dapat menjadi daya penggerak/motivator dengan kekuatan moral berperan serta dalam diplomasi ekonomi.
Dalam kebersamaan menggerakkan diplomasi total itu, pihak Indonesia perlu menyadari bahwa menciptakan suatu komunitas demikian itu harus meyakini bahwa karakternya dalam arti budaya kerja (productivity culture) adalah ASEAN. Artinya, diresapi dan dijiwai oleh toleransi, saling menghargai (moderation), pluralisme budaya, dan fleksibilitas dalam berinteraksi.
Di bawah payung yang besar itu, komunitas dapat bergerak dengan fleksibilitas kelompok-kelompok kerja dalam jiwa keterbukaan untuk mencapai visi komunitas yang riil. Ini bukan hal yang cepat selesai, tapi membutuhkan keuletan dan konsistensi.
Hendaknya bangsa ini perlu mencermati pemikiran yang ditulis oleh Qian Qichen, mantan Wakil Perdana Menteri Republik Rakyat China, dalam Towards a bright future of regionalism (Global Asia, September 2006): "Regionalisasi dan globalisasi merupakan proses yang sejajar yang tidak bertentangan. Kita harus memiliki keberanian politis yang memadai untuk tidak membiarkan konflik menghalangi arah ke tingkatan tingkatan lebih tinggi dari kerjasama regional. Jangan sekali-kali mencari hegemoni. Pembangunan secara damai dengan tiga hal rasional, yakni bertetangga baik, damai dengan tetangga, dan kemakmuran pada tetangga akan memberi wujud riil abad Asia.."
Kelompok elite, eksponen bisnis dan kalangan akademisi hendaknya pula terlibat membawakan sikap pandang positif, menanggalkan budaya menunda-nunda dalam implementasi atas dasar rencana kerja (time line) dan program aksi yang didukung anggaran memadai dalam memberi substansi Komunitas Ekonomi ASEAN, kemudian regionalisme Asia Timur.
*) Bob Widyahartono MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat studi pembangunan, terutama wilayah Asia Timur; dan Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar) Jakarta
22/02/09 13:26
Subscribe to:
Posts (Atom)