Nov 19, 2009
Perjalanan ke Biak
Kesempatan berkunjung ke Biak dan berdiskusi dengan para penggiat dan pemanfaat pesisir membuatku serasa kembali di tahun 2003, saat memulai program di Wakatobi. Cerita tentang maraknya bom ikan di pesisir Biak sampai saat ini, membuatku gelisah. Apa iya ya masih banyak orang yang tidak peduli hingga tidak bisa menghentikan semua kegiatan yang merusak ini. Atau memang kebanyakan orang sudah kian pesimis atau malah sudah apatis?
Bicara soal apatis ini salah satunya terlihat saat dengar cerita mengenai bagaimana dulu maraknya Biak sebagai transit airport ketika masih ada penerbangan Jakarta-Denpasar-Biak-Honolulu-Los Angeles. Wow.. keren kan? Aku juga baru ngeh setelah berkunjung sendiri ke pulau ini.
Saking maraknya lalu lintas penumpang via Biak ini maka pemerintah Papua (saat itu masih Irian Jaya) membangun satu hotel berbintang yang menjadi icon pariwisata Biak, hotel Marau.
Hotel yang dibangun oleh PT Waskita dan kalau gak salah dikelola oleh Aerowisata ini adalah hotel termegah yang ada di Indonesia paling Timur ini. Lihat aja kegagahan dan keindahannya di foto karya PT Waskita ini.
Namun foto ini adalah foto yang diambil sesudah selesai dibangun pada tahun 1991. Foto tersebut tinggalah kenangan.
Pada saat aku berkesempatan ke Biak dan mendengar adanya hotel Marau ini, sudah berbeda keadaannya. Foto dibawah ini adalah Hotel Marau pada tanggal 19 November 2009.
Kelihatan gak bedanya? Ha...? Emang masih perlu ditanya? Memang kelihatan jauh sekali kan. Konon investasi yang telah dikeluarkan saat pembangunannya pada tahun 1991 telah menghabiskan biaya Rp 1,7 trilyun. Kalau dikonversi dengan nilai uang sekarang berapa ya? Lebih dari Rp 6 trilyun tuh.
Bayangkan investasi yang sebesar itu kemudian menjadi tinggal puing yang tersisa. Sebagai pendatang yang melihat sekejap dan mencoba mencari tahu dengan segala keterbatasan sumber informan jadi penasaran. Apa ya yang sebenarnya terjadi atas semua ini? Kuingin mencari tahu lebih jauh, seperti halnya mencari jawaban atas pertanyaanku di awal tulisan ini.
Jun 21, 2009
Perpisahan deh...
Ada perjumpaan tentunya ada perpisahan. Maka tibalah saatnya kami berdelapan harus berpisah setelah hampir sebulan jalan bareng. Sore itu, 19 Juni 2009, di sebuah taman di tepi pantai Waikiki kami makan bareng, ber-barbeque and salad ria. Agak canggung rasanya kami saling bercerita menyadari bahwa pertemuan ini adalah bagian untuk mengakhiri perjalanan yang mengasikkan ini. Tapi hidup memang harus kembali ke dunia nyata.
Perpisahan yang sebenarnya terjadi pada 20 Juni 2009. Kami bertujuh, selain Ruby, berkemas dan berangkat meninggalkan hotel menuju Bandara Honolulu. Untungnya kami bertujuh masih bisa berbarengan sampai di Jepang. Jadi masih ada kesempatan untuk berbagi cerita di perjalanan. Ruby harus stay satu malam lagi karena dia menggunakan penerbangan yang esok harinya. Antara sedih dan senang tentunya. Sedih karena tidak bisa berbarengan dengan ketujuh teman seperjalanannya selama ini. Tapi senang sekali karena masih ada waktu satu hari untuk memuaskan diri berbelanja. Yes.. belanja adalah hal yang paling menyenangkan baginya. Okay Ruby, selamat berbelanja dan kami jalan dulu.
Jun 17, 2009
Selamat jalan Texas
Jun 14, 2009
Space Center, Houston Texas
Liat tukiknya Texas
Pukul 5.30 pagi kami sudah meluncur dari hotel. Marty baik banget, dia udah menyiapkan kopi dan donat untuk pengganjal perut di pagi hari. Susan mengajak suami dan anaknya. Mereka rupanya belum pernah juga melihat kegiatan pelepasan tukik ini. Satu jam perjalanan dari hotel tibalah kami di Taman Nasional Padre Island. Tepatnya di Malaquite Pavillion, dimana pusat konservasi penyu ini dipusatkan.
Jun 12, 2009
Inisiatif masyarakat Corpus Christi
Jun 11, 2009
Hari kedua di Corpus Christi, Texas
Setelah itu kami makan siang di Alladin. Restoran orang Siria. Alasan memilihnya adalah hanya dia yang menyediakan masakah halal.
Sorenya setelah makan siang kami mengunjungi Harte Research Institute, Texas A&M University-Corpus Christi. Insitut ini baru mendapat bantuan pembangunan gedung riset dari seorang warga Texas yang ingin turut mengembangkan penelitian. Hebat aja, satu orang mau mengeluarkan uang sebanyak itu untuk membangun gedung riset. Mmmm...
Jun 10, 2009
Negara bagian Texas
Ketika berangkat dari Bandara Florida, terbayang sudah panasnya Texas ini. Saat mendarat di Bandara Dallas, panas itu sudah mulai terasa menyengat. Apalagi ketika kami harus buru-buru keluar pesawat karena harus mengejar pesawat American Eagle yang akan menerbangkan kami dari bandara Dallas ke bandara Corpus Christi. Namun bandara International Dallas sangatlah nyaman dan bersih. Kami juga tidak perlu berlari jauh dari Gate B18, tempat dimana kami keluar, menuju Gate C32 dimana pesawat berikutnya menunggu.
Beda waktu antara Florida dengan Texas adalah satu jam lebih lambat. Jadi saya harus mengundurkan satu jam arloji Suunto yang saya pakai.
Pesawat American Eagle yang kami gunakan ternyata adalah jenis ATR. Pesawat tipe ini juga yang biasa saya pakai kalau harus terbang dari Ujung Pandang menuju Bau-Bau. Pesawat baling2 ganda ini berangkat dari Dallas pukul dan tiba di Corpus Christi 1jam 35 menit.
Setelah check in dan meletakkan barang-barang di kamar, saya, Ficar, Sade, Nais dan Ruby, sepakat keluar untuk mencari restoran. Sepanjang jalan sore itu hanya kami yang berjalan kaki, jalanan lengang oleh pejalan kaki. Beberapa mobil berseliweran dan komentar kami sama, semua yang di Amerika ini besar2, mobil yang lalu lalang selalu berukuran besar jenis mini truk atau setidaknya sedan dengan cc di atas 2000 cc. Mengikuti petunjuk Marty saat kami dijemput tadi kami memilih satu restoran seafood di dekat hotel. Seafood restoran ini sangat nyaman dan menyenangkan suasananya. Kami mencoba masakan Snapper, Shrimp dan fish. Ternyata porsinya tidak cukup untuk kami berlima. Kami memesan lagi udang dan tambahan kentang dan calamari. Nyam, dengan lahap kami santap semuanya dan pulang dengan perut kenyang.
Perjalanan kami balik ke hotel memilih jalur jalan di pantai Teluk Corpus Christi. Yang menarik di pantai bertembok tinggi 4o cm ini terpasang beberapa bangku putih di sepanjang pantai ini. Pada bangku-bangku tersebut tertuliskan nama yang digrafir pada logam tembaga dan dipasangkan pada bangku berwarna putih itu.
Jun 9, 2009
Everglades National Park
Jun 8, 2009
Menjadi volunteer di Florida Keys Clean Up Programme
Setelah berlibur dua hari maka pada hari Senin, 8 Juni 2009, kami menjadi volunteer dalam program Reef Clean Up yang diadakan di Florida Key Reef. Lokasinya cukup jauh dari hotel kami menginap. Oleh karenanya pukul 07.30 kami harus sudah meluncur dengan van charteran kami untuk menuju lokasi.
Jun 4, 2009
Bergeser ke Negara Bagian Florida
Jun 2, 2009
Hari kedua dan ketiga di Washington DC
Visiting Meridian International Center
Saat kami ke sana, di gedung mereka sedang ada pameran karya seni kontemporer seniman China. Menarik sekali karya2nya. Seluruh ruang pertemuan dan bahkan di halaman kantornya terpampang karya yang unik tersebut.
Mr David Paulson dan Ms. Elizabeth Uebelacker yang menerima kami. Ada pula Ms. Jamari Salleh, program officer dari US Dept. of State, yang memberikan pembekalan mengenai apa dan mengapa ada kegiatan yang kami ikuti ini diselenggarakan. Selanjutnya David, memberikan panduan mengenai bagaimana rangkaian kegiatan kami akan berjalan sejak dari Washington, DC, Florida, Texas, hingga ke Hawaii. Dan yang paling mengasyikkan adalah ketika Elizabeth mulai membagikan bekal alias uang perjalanan kami. Syukurlah, walau tidak cukup besar bagi pengeluaran akomodasi dan transport di USA namun dibanding harus keluar dari kantong sendiri, mana mampu....? :)
May 31, 2009
Perjalanan panjang melintas Samudra
May 29, 2009
Visitor Leadership Program ke USA
Aku akan berangkat bareng Vicar dari DFW (Destructive Fishing Watch) pada hari Jumat 29 Mei 2009. Yang tadinya kami akan berangkat dengan Singapore Airline ternyata berubah jadi naik Qatar Airline. Berangkat dari Jakarta dijadwalkan pukul 22.10 dan tiba di Singapura tengah malam. Sementara berangkat ke US baru akan jalan pukul 6 paginya. So kami bermalam dulu sebentar di Transit Hotel.
Mar 2, 2009
Pembantaian Bedawang Nala
Penyu hijau dikeramatkan oleh masyarakat Bali, tapi sekaligus diburu. Ini akibat dari adat yang salah kaprah. Perdagangan penyu lalu diperketat, tapi penegakan hukumnya diabaikan.
NASIB dua saudara ini berbeda, bagaikan langit dan bumi. Kura-kura Ninja adalah tokoh kartun kondang di layar kaca yang jadi pahlawan si Upik. Adapun di pantai Bali, riwayat penyu hijau (Chelonia mydas) harus berakhir di tusuk sate. Hewan amfibi ini merupakan komoditi yang laris diperdagangkan di Pulau Dewata, sejak dua dasawarsa lalu, meski selama itu pula para pemerhati lingkungan dengan lantang mengingatkan masyarakat tentang populasi penyu yang kian lama kian anjlok.
Kekhawatiran mereka mudah dipahami karena dari enam jenis penyu yang ada di Nusantara, hanya penyu hijau yang belum dilindungi. Untunglah, setelah dinanti sekian lama, akhir Januari lalu keluar Peraturan Pemerintah No. 7 dan 8 Tahun 1999, yang menegaskan bahwa penyu yang boleh diperdagangkan adalah penyu hasil penangkaran. Itu pun sebatas kategori F2 (keturunan setingkat cucu). Di luar itu, diharamkan.
Namun peraturan baru itu belum efektif menahan laju kematian penyu hijau di Bali. Penegakan hukum di Indonesia, terutama untuk pelestarian lingkungan, jarang dilakukan sebagaimana mestinya. Pihak penegak hukum tidak bekerja serius dan dana pun tidak tersedia?itulah dua dari beberapa faktor penyebab.
Di sisi lain, perburuan penyu hijau memang gila-gilaan. Tengok saja laporan World Wide Fund for Nature (WWF). Pada suatu hari bulan November tahun lalu, tim pemantauWWF memergoki tiga kapal pemburu penyu di sepanjang perairan Dobo, Maluku. Target tangkapan tiap kapal sampai 300 ekor per hari. Hewan-hewan ini kemudian dilempar ke Tanjungbenua, Bali, yang telah lama merupakan pintu masuk perdagangan penyu dari perairan Maluku, Flores, Jawa, Sumatra, dan Kalimantan.
Rupanya, peminat penyu di Bali cukup banyak. Sebab, menurut penggemarnya, daging penyu jauh lebih manis dan empuk daripada daging sapi. Tak aneh bila harga seekor penyu paling rendah Rp 500 ribu.
Pembantaian penyu yang tak terkendali membuat WWF dan Green Peace bereaksi keras. Pada 1990, ada ancaman boikot dari para wisatawan asing. Ancaman ini tak ubahnya pukulan untuk Bali, yang perekonomiannya banyak mengandalkan pariwisata. Gubernur Bali waktu itu, Ida Bagus Oka, tak bisa lain kecuali menandatangani keputusan untuk membatasi perdagangan penyu hingga 5.000 ekor per tahun. Tapi, karena penegakan hukum lemah, pembantaian jalan terus. Dari pemantauan WWF diketahui bahwa jumlah penyu yang dijual tetap melampaui kuota (lihat infografik).
Memang benar, jumlah penyu yang diperdagangkan merosot terus dari tahun ke tahun. Namun hal itu bukan pertanda bahwa kesadaran untuk tak lagi menyembelih hewan bermata bening itu telah meningkat. Faktor utamanya, menurut "ahli penyu" di WWF Bali, Veda Santiaji, adalah karena habitatnya makin tergerus. Rupanya, sejak tahun 1980-an, jumlah hewan bercangkang ini makin susut karena pantai pendaratannya?di Sanur, Kuta, dan Nusa Dua?telah bersalin rupa menjadi hotel dan restoran. Hal ini cukup "menakutkan" bagi penyu, yang amat pemalu dan hanya mau bertelur di pantai yang sunyi.
Selain habitatnya dirusak, penggusuran penyu juga terjadi di Pulau Serangan, sebuah kawasan di selatan Denpasar yang pernah kondang sebagai "pulau penyu". Lokasi ini kemudian dicaplok oleh pengembang pariwisata, Bali Turtle Island Development Project, yang 11 persen sahamnya dikuasai Tommy dan Sigit Soeharto. Tanpa pikir panjang, surga tempat penyu hijau beranak- pinak ini digasak. Pantainya direklamasi hingga tiga kali luas pulau aslinya. Melihat ini, keluarga penyu pun merasa terancam dan tidak kerasan.
Kegemaran masyarakat Bali akan daging penyu merupakan faktor lainnya yang mengancam kelestarian hewan tersebut. Dalam pandangan rakyat Bali, penyu adalah binatang yang diagungkan, diberi gelar Bedawang Nala, dan diyakini sebagai penjaga keseimbangan jagat. Setiap Padmasana, bangunan suci Hindu, selalu disangga dengan relik Bedawang Nala.
Namun kebiasaan memakan daging penyu ini ditentang oleh seorang pendeta Hindu terkemuka, Ida Pedanda Gde Ngurah Kaleran. Menurut pendapatnya, adalah salah kalau orang berpikir bahwa bila memakan daging binatang suci, otomatis sang penyantap terbebas dari dosa. Justru karena kesuciannya itulah, menurut Kaleran, penyu hijau harus dilindungi dan tak boleh dibunuh, kecuali untuk keperluan ritual. Dia memperhitungkan, tak diperlukan banyak penyu untuk acara-acara ritual itu. Untuk seluruh upacara di Bali selama setahun, 300 ekor penyu sudah lebih dari cukup. Dan jika keadaan tidak memungkinkan, seperti yang banyak terjadi belakangan ini, penyu bisa diganti dengan jaja cacalan (penganan ketan berupa replika penyu).
Apa oleh buat, salah kaprah itu telanjur meluas. Banyak penduduk desa menyembelih penyu hijau untuk pesta adat. Salah kaprah ini perlu diluruskan agar aturan baru tentang perdagangan penyu hijau bisa efektif dalam upaya melindungi hewan langka itu. >Karaniya Dharmasaputra, Agus S. Riyanto (Jakarta), I Nyoman Sugiharta (Bali)
Mar 1, 2009
Strategi Inovasi Biaya Industrialis China
Jakarta (ANTARA News) - Mulai Mei 2009 selama tiga bulanan akan diselenggarakan China Expo di Shanghai. Expo tersebut tentunya menarik perhatian para pembuat kebijakan, eksekutif bisnis dan perbankan, serta pengamat Indonesia untuk membentuk kerjasama tim (team work) merencanakan secara matang berpartisipasi sesuai kapasitas masing masing.
China Expo tentunya sudah disiapkan jauh-jauh hari, namun para pembuat kebijakan ekonomi China jelas tidak mau tinggal diam atau pasrah dalam menerima dampak krisis ekonomi global.
Fokus mengatasi dampak yang menurunkan ekspor mereka itu adalah pada sektor riil, industri dan perdagangan dalam negeri maupun internasional. Jika dicermati, China menyiapkan serangkaian langah realisasi kebijakan perekonomiannya sejak 1978. Bahkan, pada 1992 dengan perjalanan spektakuler ke selatan (southern tour), Deng Xiaoping negarawan yang meniupkan gaige kaifang alias keterbukaan dan reformasi ekonomi.
Hal itu pada giliranya menggairahkan jiwa kewirausahaan (entreprneurship) masyarakatnya, terutama di kawasan pantai. Selain itu, kebijakannya meningkatkan investasi dalam industri berbentuk usaha patungan dengan China (joint venture) dari negara tetangga, antara lain Jepang, Korea Selatan, Asia Tenggara, Amerika dan Eropa.
Hal menggairahkan bagi bangsa China adalah kesadaran Zhi Fushi Guangrong alias "menjadi kaya itu mulia" dengan memupuk jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) tersebut dalam kemampuan berbisnis secara profesional dan kredibel. Mayoritas industri sebagai eksportir China itu skalanya menengah dan dengan jaringan kerja (networking) ke skala rumah tangga domestik.
Para importir menangkap kegesitan pemilik dan karyawan dalam upaya berprestasi menjadi acuan yang mengagumkan dunia luar. Hal itu yang dikenal sebagai budaya produktivitas yang tinggi, walaupun ada keseratan ekonomi dewasa ini.
Donald N. Sull & Yong Wan mengulas dalam Made in China, what western managers can learn from Trailblazing Chinese Entreprenuer (2004) mengamati kegesitan sehari-hari para pimpinan dan manajemen China, yang membekali diri dengan pengetahuan dan yang harus berani menggugat diri dalam kemandekan operasi bisnis.
Salah satu konsepnya adalah proses menerapkan inovasi biaya (cost innovation) membuat berbagai perusahaan di luar China grogi. Mengapa demikian? Dengan inovasi itu manajemen China memakai strategi menerapkan teknologi tinggi ke dalam industrinya yang memproduksi secara massal (high technology to price competitive mass markets) sambil menawarkan makin banyak variasi produk dengan tetap mempertahankan biaya rendah.
Tahun 1970an pun industrialis Jepang melakukan proses yang serupa hingga merajai pasaran elektornika dan otomotif dunia, meskipun tidak mereka sebut "inovasi biaya" sampai belakangan ini.
Bayangkan saja, sejak beberapa tahun pasar di Indonesia pun dibanjiri aneka produk buatan China (made in China), mulai dari makanan jadi, mainan, buah buahan, obat obatan, alat rumah tangga sampai elektronika, kendaraan bermotor dan suku cadang produk produk yang diperlukan konsumen. Kenyataan ini sesungguhnya tidak hanya di Indonesia dan negara-negara di kawasan Asia, bahkan Amerika dan Eropa juga dilimpahi produk produk China.
Pada gilirannya kemudian, China juga melakukan ekspansi dagangnya melalui Internet di http://www.madeinchina.com sehingga transaksi pun dapat berlangsung secara online.
Banyak peneliti dan pengamat luar China kagum bahwa China memproduksi lebih dari 75 persen mainan anak yang tersebar luas di dunia, 60 persen pakaian jadi (garment) dan 35 persen produk telepon seluler (ponsel) yang sudah mendunia.
Jangan terkejut pula kalau suatu saat dalam dua tiga tahun mendatang China akan berhasil membuat pesawat terbang komersil untuk masyarakat dunia. Berbagai produk konsumen China umumnya mulai dari shampo, jepit rambut, kemeja, sepatu, alat listrik dan elektronik sampai kendaraaan bermotor kini cenderung sudah berada di depan pintu konsumen.
Merek bisa saja tidak "ngetren", tapi produk China yang "keren" sudah merambah ke mana-mana. Produsen barang konsumsi umumnya skala kecil dan menengah, kecuali elektronik dan kendaraan bermotor yang skalanya menengah dan besar, karena secara tidak langsung mencontoh pengalaman yang dilalui salah satu perusahaan mereka, yakni Legend atau Haier.
Hal lainnya yang menarik adalah bahwa para industriawan dan manajemen menengah China tidak senantiasa bersedia hanya menjadi rekan pendiam (silent partner) terhadap penanaman modal asing (PMA) dari Jepang, Eropa maupun Amerika.
Para eksekutif bisnis China terus menggali pengetahuan dan kalaupun ada kader partai yang tertarik untuk berpengetahuan bisnis sampai tingat internasionalisasi. Para kader itu digiring oleh pemerintah pusat maupun propinsi untuk mulai belajar dari awal dalam bentuk kursus singkat (short courses) yang berulang-ulang, dan bukan berpolitik melulu.
Selain inovasi biaya, China mengenalkan pula konsep siklus SAPE = Sense, Anticipate, Prioritize, Execute yang merupakan alternatif proses perencanaan dalam strategi yang lain dari yang lazimnya dipraktekkan perusahaan lain. Merek produk PC (Personal Computer)-nya merek Legend dalam keberhasilan proses produksi dengan SAPE cycle dalam proses kewirausahaan dan menanamkan jiwa pada karyawan untuk menghayatinya.
Suatu model mental, agar berani mengantisipasi peluang dan ancaman kemunduran dan kegagalan dengan memilih pada satu arah untuk mampu bersaing, menetapkan prioritas bergerak strategis, dan melaksanakan menjadikan sasaran berwujud (tanglible objectives).
Jadi, di China kreativitas masing-masing industri dalam operasi produksi dan bisnis menarik. Produsen China terkenal dengan inovasi biaya hingga menjadikan hasil produknya terjangkau oleh kelas menengah ke bawah.
Dalam perjalanan waktu, mereka tidak terus menghasilkan produk kelas bawah low-end products dengan strategi harga murah. Sebagai salah satu sarana inovasi biaya, China menerapkan teknologi yang lebih maju (more advanced technology) untuk diferensiasi produk dalam proses produksi masal dengan tetap mempertahankan harga dengan marjin yang biasanya hanya sekitar 15 hingga 20 persen dengan kalkulasi harga yang efisien, sedangkan umumnya produsen Jepang marjinnya sekitar 30 persen, dan Amerika 35 hingga 45 persen.
Berbagai hal itulah yang menjadi tantangan yang menarik bagi usahawan/industriawan Indonesia untuk mempelajari secara seksama bagaimana implementasi inovasi biaya dalam sektor masing-masing dengan budaya produktivitas atas dasar kerja keras dan cerdas, serta terus menggali informasi pengetahuan berbasis teknologi dan ketrampilan dari luar China.
(*) *) Bob Widyahartono MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi/bisnis Asia Timur, dan Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar) Jakarta. (*)
ANTARA 02/03/09 03:17
Feb 24, 2009
Apakah Tuhan menciptakan kejahatan?
Apakah Tuhan menciptakan kejahatan? Seorang Profesor dari sebuah universitas terkenal menantang mahasiswa-mahasiswa nya dengan pertanyaan ini,
"ApakahTuhan menciptakan segala yang ada?".
Seorang mahasiswa dengan berani menjawab,
"Betul, Dia yang menciptakan semuanya".
"Tuhan menciptakan semuanya?" Tanya professor sekali lagi.
"Ya, Pak, semuanya" kata mahasiswa tersebut. Profesor itu menjawab,
"Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan."
Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor tersebut.
Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia telah membuktikan kalau agama itu adalah sebuah mitos. Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata,
"Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?"
"Tentu saja," jawab si Profesor. Mahasiswa itu berdiri dan bertanya,
"Profesor, apakah dingin itu ada?"
"Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada. Kamu tidak pernah sakit flu?" Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa lainnya.
Mahasiswa itu menjawab, "Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -46'F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas".
Mahasiswa itu melanjutkan, "Profesor, apakah gelap itu ada?"
Profesor itu menjawab, "Tentu saja itu ada."
Mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi anda salah, Pak. Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya."
Akhirnya mahasiswa itu bertanya,
"Profesor, apakah kejahatan itu ada?"
Dengan bimbang professor itu menjawab,
"Tentu saja, seperti yang telah kukatakan sebelumnya. Kita melihat setiap hari di Koran dan TV. Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan.
" Terhadap pernyataan ini mahasiswa itu menjawab,
"Sekali lagi Anda salah, Pak. Kejahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan. Seperti dingin atau gelap, kejahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kejahatan. Kejahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih Tuhan dihati manusia. Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya."
Profesor itu terdiam. Nama mahasiswa itu adalah Albert Einstein . .. .
Feb 10, 2009
Mencermati Tiga Etape Perjalanan Panjang China
Oleh Bob Widyahartono MA *)
Jakarta (ANTARA News) - Tahun 2009 dalam horoskop China disebut sebagai "tahun Kerbau" berelemen tanah (Earth Ox Year). Sejak melajunya era Deng Xiaoping (1978), masyarakat Indonesia, terutama para elite birokrasi pemerintahan, eksponen bisnis termasuk manajemen menengahnya, mencermati, perkembangan politik, ekonomi dan budaya China, sekalipun banyak yang meragukan makna menimba belajar dari China.
Tanpa menganggap enteng, kini sejak tahun lalu, dunia mengalami krisis ekonomi global yang diakibatkan dan gulirkan ke bagian besar dunia oleh sistem perekonomian kapitalisme berjiwa dan berwujud neo-liberalisme Amerika Serikat (AS), antara lain rontoknya pasar modal Wall Street, dan berbagai kegagalan antara lain sub-prime mortgage AS.
Berbagai kalangan di Indonesia, termasuk penulis, mencemaskan obatnya krisis masih satu dua tahunan. Karena itu, elite birokrasi, bisnis dan kalangan kelas menengah kita perlu belajar dan mencermati perjalanan panjang banga China yang penuh dinamika naik-turun, termasuk dalam berjaga-jaga menghadapi dampak krisis itu memasuki tahun tahun yang akan datang.
Evelyn Lip (PhD Arch) dalam "Out of China",(Addision Wesley Publishing Company 1993) yang dikenal luas sebagai pakar arsitektur internasional menyadari bahwa membutuhkan lebih dari satu masa hidup (life time) untuk menggapai pengetahuan dalam segala bentuk dan kebajikan fisafat China. Artinya, "tiada akhirnya untuk terus belajar" (there is no end in learning = xue wu zhong zhi).
Perkembangan bangsa China sejak 1949, merupakan perjalanan panjang (long march) yang setiap etapenya 30 tahunan. Diawali dengan eranya Mao Zedong 1949-1976 dengan ketertutupan masyarakat dan ekonomi terencana yang ketat.
Kejadian kejadian di China jelas tidak dapat dipahami tanpa suatu rasa hormat pada fenomena Deng Xiaoping sebagai pemimpin pelopor etape keduanya. Impian awal tahun 1980an untuk suatu masa depan yang lebih cemerlang di China makin menampak dalam realita di bawah kepemimpinannya. Nah, marilah kita mengikuti perjalanan panjang sejarah China tiap etapenya
Long march pertama (1949-1978)
Ditinjau dari segi ekonomi sosial, China tadinya suatu masyarakat "non-materialistis" yang dilandasi ajaran Maoisme di bawah kepemimpinan Mao Zedong, China 1949-1976 yang segala kehidupan politik, ekonomi dan budaya diputuskan di Pusat Pemerintahan Beijing. Ketika zaman itu Eropa Timur sebelum era keterbukaan disebut "negara tirai besi" (the iron curtain).
China di bawah kepempimpian Mao Zedong (1949-1976) dijuluki sebagai ketertutupan oleh "tirai bambu" (the bamboo curtain).
Long march kedua (1978-2008)
Ekonomi-pasar sosialis yang digerakkan oleh nilai nilai kemakmuran individual sebagai reformasi yang dipelopori Deng Xiaoping sejak 1978 itu disebut sebut sebagai "gaige kaifang" (membuka diri dan reformasi tata kelola).
Figur Deng Xiaoping tidak hanya banyak dikagumi dalam negerinya tapi oleh dunia luar China. Sepatutnya disebut disini kekaguman oleh negarawan Malaysia, Dr. Mahathir Mohamad, dalam "Globalization with common Development" (Oktober 2001) yang antara lain mengemukakan tidak perlu diragukan bahwa salah seorang agung (great men) abad 20 adalah Deng Xiaoping,
Bapak Empat Modernisasi China. Juga tidak usah diragukan bahwa dua dari petuah bijaksana (wise sayings) harus berada dalam benak pikiran kita ketika kita berbicara mengenai isu isu besar masa kini, bahkan setiap masa.
Kedua petuah tidak bisa diabaikan sebagai sarana untuk menganalisis dan sebagai pedoman bernilai dalam setiap tindakan kita. Deng berucap bahwa kita harus mencari kebenaran dari fakta. Artinya, kita jangan mendeduksi kebenaran hanya dari harapan harapan, sekalipun harapan harapan itu terhitung mulia.
Status historis dan signifikansi teori Deng Xiaoping yang dikenal sebagai "empat prinsip dasar" yang oleh Deng sendiri disebut sebagai langkah awal reformasi dan kebijakan membuka diri (gaige kaifang).
Prinsip dasar modernisasi , antara lain menumbuhkembangkan pemikiran dan mencari kebenaran dari fakta Pemahaman yang jelas tentang apa yang disebut รข��"sosialisme dan bagaimana membangunnya" disertai reformasi menyeluruh.
Digantinya prinsip pertentangan kelas dengan pembangunan ekonomi dan digantinya ekonomi terencana (planned economy) dengan ekonomi pasar sosialis. Penilaian yang cermat dan ilmiah atas perubahan perubahan dalam situasi global. Suatu sistem sosialisme dengan karakteristik China.
Makin jelas visi Deng Xiaoping "gaige kaifang" yang tidak terbatas pada ekonomi, tetapi sudah memasuki peta geopolitik sosial budaya Ungkapan pragmatisterkenal Deng antara lain tidak peduli apakah kucing itu hitam atau putih warnanya, tapi kucing itu harus menangkap tikus dan menjadi kaya itu mulia.
Teorinya tidak mutlak untuk negaranya, tapi menjadi panduan para penerus elite pemimpin bangsanya.
Penerus kepemimpinan China, duet Jiang Zemin/Zhu Rongji (1992-2003) dan Hu Jintao/Wen Jiabao (2003-2008) dan periode keduanya. Hu/Wen tetap memantapkan visi Deng Xiaoping dalam ber-internasionalisasi.
Yuan Ming, gurubesar hubungan internasional pada Universitas Beijing, sebagai pakar mengenai Amerika dalam wawancaranya dengan Thomas L. Friedman yang dituangkan dalam "Understanding Globalization: The Lexus and the Olive Tree" (2000) tidak sepenuhnya mendukung istilah globalisasi.
Yuan Ming mengungkapkan pola pikir kritis China terhadap arogansi global Amerika, dengan menyatakan bahwa pemimpin politik China dalam ungkapan ungkapan publik tidak memakai istilah globalisasi, tapi lebih suka memakai istilah modernisasi.
Globalisasi menunjukkan sesuatu yang tidak digemari oleh pikiran China karena didesakkan oleh Barat atau Amerika. Sebaliknya, modernisasi adalah sesuatu yang dapat dikendalikan (something we can control).
Ada suara menyegarkan dari pihak China dalam konperensi WTO, 10-14 September 2003 lalu di Cancun, Meksiko. Sebagai anggota baru, Cina menyatukan diri dengan negara negara dunia ketiga, bersama Brasil dan Indonesia, menjadi sponsor utama kelompok 21 yang menuntut penghapusan subsidi produk pertanian AS dan Uni Eropa.
Sikap China benar benar berpihak pada negara negara miskin. Kini memasuki putaran WTO Doha 2008 tentunya kelompok 21 tetap memiliki kebersamaan bahka sampai siding WTO tahun lalu.
Memasuki long march ketiga mulai 2008
Alih generasi pemimpin China ke generasi ke empat Hu Jintao/Wen Jiabao mencuatkan dominasi inti teknokrat dalam mengendalikan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Dalam hubungan ini adalah pragmatisme dengan arus teknokrat "si hua" atau empat mengubah remaja, mengubah menjadi bersemangat kerja keras dan cerdas, mengubah menjadi profesional dan mengubah menjadi berpendidikan. Jadi kader kader Partai tidak boleh lagi hanya berbekal pengetahuan yang berasal dari buku indoktrinasi.
Setiap bangsa dapat bangkit dan mencapai tingkat kemakmuran oleh budaya produktivitas. Budaya ini juga diresapi oleh bangsa China. Budaya ini muncul akibat persaingan antar-bangsa yang mencuat setelah terjadinya gejala globalisme dan menjadi menarik karena terlibatnya peran negara dalam persaingan, dan elemen kultur tersebut.
Selain itu, rencana pembangunan infrastruktur fisik jalanan, kereta api dari Utara ke Selatan, dari Timur ke Barat, pembangunan Chu Chiang river Delta dan industrial parks melengkapi kemajuan kawasan industri yang sudah ada di Kawasan Timur.
Yang mengusik kita adalah apakah memasuki eranya Hu Jintao ini sudah mulai tersusun Model modernisasi China? Bangsa China sendiri merasakan bahwa pejabat China bukan penghalang, bahkan malahan menjadi pendorong beroperasinya ekonomi pasar sosialis, yang tanggap dan tangguh merespons krisis ekonomi global yang digelindingkan As dengan kapitalisme yang berjiwa neo-liberalisme diawali dengan rontoknya Pasar Modal Wall Street tersebut di atas.
Inilah beberapa butir yang dapat kita pelajari sebagai bahan tanpa menjiplak mentah mentah proses dan apa yang berlaku bagi China.
*) Bob Widyahartono MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat studi pembangunan, terutama kawasan Asia Timur; dan Lektor Kepala Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar).
Feb 2, 2009
Dari Komunitas Ekonomi ASEAN ke Regionalisme Asia Timur
Jakarta (ANTARA News) - Akhir tahun 2007, terungkap para pemegang kendali diplomasi politik dan ekonomi kita dengan upaya melibatkan kalangan pengamat dan akademisi baik di Jakarta maupun di daerah, tengah merumuskan kelanjutan langkah-langkah deklarasi Komunitas Ekonomi Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara/ASEAN (ASEAN Economic Community) yang disepakati dalam Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN 18-20 November 2007 lalu di Singapura dengan target tahun 2015.
Kini kita memasuki tahun 2009, lalu apa saja visi yang lebih konkrit untuk dibawa akhir bulan Februari 2009 dalam KTT ASEAN di Thailand. Jangan lupa, kini dunia mengalami krisis ekonomi global dengan menjalarnya krisis ekonomi Amerika Serikat (AS) sejak 2008. Masih mampukah lembaga-lembaga multinasional berperan ikut mengatasi krisis tersebut?
Sejarah globalisasi versi AS sejak dasa warsa 1980an membawa dampak yang tidak adil bagi Asia. Terjadilah persaingan bebas dalam arti yang kuat yang menang (the winner takes all), dan dalam ekonomi pasar bebas, tetapi tidak adil (free market, but no fair market ).
Lembaga-lembaga multilateral, layaknya Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Organisasi Pasar Bebas Dunia (WTO) dalam proses pengambilan keputusan atas persoalan persoalan seperti disput antar-anggota, tuduhan dumping yang dihadapi dunia, termasuk Asia, didominasi oleh AS hingga proses pengambilan keputusan seringkali menghadpi jalan buntu (deadlock).
Berbagai lembaga multilateral itu dalam sejarahnya menunjukkan kegagalan dalam membawa misi dan visi orisinalnya dalam menciptakan keadilan. Globalisasi sebagai sarana masih saja belum berhasil dalam meniadakan cara-cara beggar thy neighbor, yang dapat diartikan sebagai praktik kebijakan internasional yang menyangkut penerapan larangan/hambatan sepihak, sehingga negara lain, bahkan mitra dagang, dirugikan. Para pemenang (winners) hanyalah negara-negara besar yang tergabung dalam G-7.
Sedangkan, mayoritas negara-negara berkembang yang terdesak dipersilakan menderita lebih lama. Marilah kita mencermati ungkapan dua peneliti senior Jepang yang tergabung dalam Institute of Developing Economies (IDE/JETRO ).
Pertama, Kunimune Kozo dalam Asian Economic Crisis 97/98: Issues in Macroeconomic Imbalances, Capital Outflows and Financial Crisis yang menyoroti peranan IMF, antara lain:
1) Kebijakan ekonomi , termasuk kebijakan kurs mata , tidak memberi suatu respon yang tepat guna terhadap masuknya secara besar-besaran modal asing,
2.) Pengawasan atas lembaga-lembaga keuangan domestik, tidaklah memadai. Krisis finansial menjadi makin buruk, dan karena itu banyak pihak bersikap pesimistis terhadap pembangunan masa depan. Ternyata, jauh-jauh hari ia meramalkan masa depan IMF yang tidak cerah.
Sementara itu, Kunimune bersama Chie Kashiwabara dalam The Role of the IMF mengulas secara lebih tajam bahwa "... IMF merupakan lembaga dengan sejumlah staf yang terhitung berbobot. Namun, ia merupakan suatu bentuk birokrasi.
Kelemahan besar lembaga-lembaga birokrati adalah bahwa mereka tidak sanggup mengurangi beban kerja yang harus dilakukan, dan malahan mereka cenderung menciptakan lebih banyak upaya."
Padahal, menurut mereka, seharusnya peranan IMF dibatasi, agar memungkinkan mengembangkan sumber daya manusianya dengan suatu cara yang terfokus. Secara realistis, IMF itu tidaklah maha kuasa. Betapa pun hebatnya kompetensi stafnya, IMF tidak mungkin menulis resep generik dan mengawasi pengobatan untuk setiap masalah krisis ekonomi.
Dalam kaitan tersebut, Kunimune bersama Chie Kashiwabara menilai, peranan para politisi negara-negara donor untuk mengisi titik-titik lemah dari lembaga lembaga birokrasi. Dalam kasus IMF, para politisi dari negara-negara donor harus mengambil prakarsa, dan menunjukkan cara membatasi peranan IMF dan membatasi beban kerjanya.
Sedangkan, Bank Dunia (World Bank/WB) baru-baru ini yang berada di bawah kendali AS dan Uni Eropa (UE) berupaya menerapkan restrukturisasi dengan implementasi kerjanya masih menjadi pertanyaan, terutama menyangkut seberapa layak hasilnya juga bagi negara negara berkembang. WTO yang beranggotakan 146 negara, dan sekira 80% adalah negara berkembang juga terlihat tetap saja negara maju, terutama AS dan beberapa negara UE yang mendominasi proses pengambilan keputusan dalam bidang pertanian, investasi, kebijakan persaingan, lingkungan hidup, dan pembelanjaan pemerintah.
Suatu titik terang adalah dengan kekompakan negara berkembang sejak masuknya China sebagai anggota WTO pada 2001. Dengan makin kompaknya negara-negara berkembang dalam sidang tahunan WTO, maka membuat negara maju pimpinan AS tidak berhasil dalam memperoleh kesepakatan, sampai putaran pertemuan di Doha (Doha round) yang hingga kini mengalami kebuntuan, dan diharapkan dalam tahun ini ada langkah awal solusinya, meskipun akan sulit memperoleh kesepakatan. Ternyata, kelanjutan putaran Doha di Jenewa (Swiss) pada Agustus 2008 juga mengalami kegagalan mencapai kesepakatan
Beragam kritik dan protes terbuka, baik dalam sidang tertutup maupun oleh kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dari berbagai negara terhadap globalisasi justru. Hal itu dimulai selama putaran di Seattle tahun 2000 dan tahun-tahun berikutnya. WTO dicap dalam berbagai demonstrasi terbuka oleh LSM sebagai simbol ketidaksetaraan dan hipokrisi AS dan beberapa negara maju UE. Sudah sejak 2000, AS yang terus mendesak negara-negara berkembang tidak memberi subsidi pada industrinya. Sebaliknya, AS sendiri mengucurkan miliaran dolar AS subsidi sebagai proteksi terhadap para petaninya untuk menghambat persaingan dari negara-negara berkembang.
Oleh karena itu, Noorena Hertz (2001) dalam The Silent Take-over: Global Capitalism and the Death of Democracy secara gamblang mengungkapkan, agar komunitas dunia tidak terjebak dalam pandangan yang membingungkan antara "demokrasi dengan kapitalisme".
Elite politik negara adi daya dan korporatnya (Multi-Nasional Company/MNC) secara implisit mau menang sendiri dalam sikap pandang tentang globalisasi dan wujudnya WTO. WTO sendiri sejauh ini belum berkutik selain membentuk berbagai divisi: badan banding, divisi penilai dan divisi legal yang diarahkan untuk memecahkan disput antar-anggota WTO.
Suatu dunia yang diglobalisasi (a globalised world) tidaklah akan menjadi suatu dunia yang demokratis murni. Mau tak mau WTO menjadi milik negara-negara adi daya (powerful dominant countries). Melalui peranan politisinya, mereka akan memaksakan kepentingan mereka kepada negara-negara lainnya, baik secara eksplisit maupun tak kentara. Meskipun demikian, negara-negara berkembang harus menyadari dan mengakui bahwa globalisasi sudah menjadi realita di dunia ini.
Hal tersebut tidak berarti bahwa negara berkembang harus pasrah menerima nasib. Pengamatan menunjukkan bahwa tidak banyak perubahan yang terjadi dalam pengaturan institusi ekonomi dan moneter, serta tata kelola IMF, Bank Dunia dan WTO.
Sejauh ini, hal yang terjadi adalah keteraturan waktu penggantian Direktur Ekskutif di kedua institusi, walaupun awalnya menyatakan akan melakukan reformasi operasi lembaga. IMF selalu dipimpin oleh seorang direktur berkebangsaan UE, sedangkan Bank Dunia ditunjuk dari AS.
Peranan korporat (MNC) AS dalam mendesakkan peraturan internasional tetap saja terjadi. Sejauh ini pula banyak sekali peraturan internasional muncul dari kasak kusuk MNC, dalam arti bukan politisi tetapi bisnis terkemuka yang setengahnya mendikte. Terjadilah praktik MNC yang mengarahkan politisi mengenai apa yang harus para politisi negara berkembang kerjakan. MNC dan politisi negara berkembang banyak yang menjalani praktik "dwi-fungsi" (pengusaha-penguasa) yang sampai kini masih menikmati sebagai pihak paling diuntungkan, sehingga berupaya mempertahankan statusnya (status quo), yakni posisi mereka dalam mempengaruhi lembaga-lembaga internasional dan globalisasi.
Visi Regionalisme ke Asia Timur
Oleh karena itu, dalam kebersamaan ASEAN harus diperluas ke Asia Timur dalam menghadapi tata kelola yang tidak adil menghadapi gaya IMF, Bank Dunia, WTO bersama MNC-nya. Indonesia harus berani muncul dengan rumusan strategi total diplomasi baru. Artinya, dalam kebersamaan kelompok menggerakkan strategi "angsa terbang bersama" (flying geese), dan bukan "angsa-angsa yang tidak kompak, terbang sendiri-sendiri" (the individual flying).
Prakarsa semacam itu merupakan proses dengan "rencana dan program, serta ketepatan waktu", atau tanpa menunda implementasinya, sehingga bukan memunculkan rumusan yang indah, tapi implementasinya minim.
Deklarasi Komunitas Ekonomi ASEAN yang dipelopori perumusannya oleh delegasi Indonesia repotnya oleh beberapa kalangan di dalam negeri dianggap agak ambisius. Alasannya, karena tahap pembangunan yang begitu senjang, kecil harapan integrasi ekonomi menjadi realita tahun 2015, tujuh tahun mendatang.
Dapat dimengerti bahwa pesimisme tersebut, karena substansi deklarasi dan kerangka kerja strategis komunitas tersebut belum disosialisasikan, terutama di kelas menengah masyarakat, baik di pusat maupun daerah.
Kelas menengahlah (tanpa bentuk formal) dan dalam lingkungan masing-masing, termasuk kalangan akademisi dapat menjadi daya penggerak/motivator dengan kekuatan moral berperan serta dalam diplomasi ekonomi.
Dalam kebersamaan menggerakkan diplomasi total itu, pihak Indonesia perlu menyadari bahwa menciptakan suatu komunitas demikian itu harus meyakini bahwa karakternya dalam arti budaya kerja (productivity culture) adalah ASEAN. Artinya, diresapi dan dijiwai oleh toleransi, saling menghargai (moderation), pluralisme budaya, dan fleksibilitas dalam berinteraksi.
Di bawah payung yang besar itu, komunitas dapat bergerak dengan fleksibilitas kelompok-kelompok kerja dalam jiwa keterbukaan untuk mencapai visi komunitas yang riil. Ini bukan hal yang cepat selesai, tapi membutuhkan keuletan dan konsistensi.
Hendaknya bangsa ini perlu mencermati pemikiran yang ditulis oleh Qian Qichen, mantan Wakil Perdana Menteri Republik Rakyat China, dalam Towards a bright future of regionalism (Global Asia, September 2006): "Regionalisasi dan globalisasi merupakan proses yang sejajar yang tidak bertentangan. Kita harus memiliki keberanian politis yang memadai untuk tidak membiarkan konflik menghalangi arah ke tingkatan tingkatan lebih tinggi dari kerjasama regional. Jangan sekali-kali mencari hegemoni. Pembangunan secara damai dengan tiga hal rasional, yakni bertetangga baik, damai dengan tetangga, dan kemakmuran pada tetangga akan memberi wujud riil abad Asia.."
Kelompok elite, eksponen bisnis dan kalangan akademisi hendaknya pula terlibat membawakan sikap pandang positif, menanggalkan budaya menunda-nunda dalam implementasi atas dasar rencana kerja (time line) dan program aksi yang didukung anggaran memadai dalam memberi substansi Komunitas Ekonomi ASEAN, kemudian regionalisme Asia Timur.
*) Bob Widyahartono MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat studi pembangunan, terutama wilayah Asia Timur; dan Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar) Jakarta
22/02/09 13:26